3 Jenis Pelaksanaan Hukuman Kebiri
Berita

3 Jenis Pelaksanaan Hukuman Kebiri

Hukuman kebiri tidak secara langsung menjamin jumlah kejahatan seksual turun.

ADY
Bacaan 2 Menit
3 Jenis Pelaksanaan Hukuman Kebiri
Hukumonline
Pemerintah berencana mengatur pemberatan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan seksual. Rencana itu dituangkan dalam rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pemberantasan Kejahatan Seksual, atau dikenal publik sebagai Perppu Kebiri. Rencana itu menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, termasuk di kalangan akademisi dan organisasi masyarakat sipil.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus A.T Napitupulu, menilai penerapan hukuman kebiri tidak menjamin jumlah kejahatan seksual otomatis turun. Dari penelitian yang dilakukan ICJR terhadap berbagai negara tercatat ada tiga jenis pelaksanaan hukuman kebiri. Pertama, hukuman kebiri dilakukan secara wajib (mandatory). Hukuman kebiri jenis ini diberikan kepada pelaku bersamaan dengan putusan hakim. Jenis hukuman ini dikenal di Polandia, Moldova, dan beberapa negara bagian  Amerika Serikat (AS).

Kedua, hukuman kebiri diberikan secara discretionary atau diskresi hakim yang menangani perkara dan bentuknya pidana tambahan. Jenis ini dianut Korea Selatan. Ketiga, pengenaan hukuman kebiri secara voluntary atau sukarela oleh pelaku. Ini paling banyak digunakan Inggris, Jerman, Australia, dan sebagian negara bagian AS.

“Mayoritas negara di dunia tidak menerapkan hukum kebiri. Sekalipun ada sifatnya sukarela dan bukan hukuman pidana wajib bagi pelaku kejahatan seksual,” kata Erasmus dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (23/5).

Erasmus menduga rancangan Perppu Pemberantasan Kejahatan Seksual, akan menempatkan hukuman kebiri sebagai pidana tambahan yang wajib dijatuhkan. Padahal dalam rumusan pidana yang dimaksud dengan pidana tambahan itu sifatnya tidak wajib. Ini menunjukkan pemerintah belum melakukan penelitian mendalam terkait hukum kebiri.

Erasmus yakin hukuman kebiri tak menimbulkan efek jera. Itu bisa dilihat dari negara yang menggunakan hukuman kebiri jumlahnya semakin sedikit. Data World Rape Statistic menunjukkan negara yang menerapkan hukuman mati dan kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual menempati urutan 10 besar negara yang kasus perkosaannya tertinggi di dunia.

Mengacu data World Rape Statistic (2012), 10 negara dengan kasus perkosaan tertinggi itu dipimpin AS pada urutan pertama disusul Afrika, Swedia, India, Inggris, Jerman, Perancis, Kanada, Sri Lanka dan Ethiopia. Tahun 2014 yang masuk 10 besar adalah India, Spanyol, Israel, AS, Swedia, Belgia, Argentina, Jerman dan Selandia Baru.

Erasmus berpendapat Pemerintah seharusnya memprioritaskan penanganan korban secara serius. Selama ini, perlindungan terhadap korban dalam kasus kejahatan seksual masih minim. Korban sekadar diberikan hak kompensasi lewat jalur pidana.

Kasubdit Masalah Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja Kementerian Kesehatan, Lina Regina Mangaweang, mengatakan Perppu Kejahatan Seksual adalah perintah langsung Presiden. Jika Perppu Kebiri diterbitkan, peraturan pelaksanaannya seperti PP dan Peraturan Menteri perlu disiapkan. Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial akan jadi leading sector.

Lina mengatakan Kementerian Kesehatan sudah menyampaikan pandangannya kepada Presiden Joko Widodo. Secara medis kebiri itu tidak sesuai dengan sejumlah aturan baik medis dan HAM. “Kebiri bertentangan dengan kode etik dan sumpah dokter serta melanggar HAM,” ujarnya.

Anggota Komisi VIII DPR, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, menilai hukuman mati dan kebiri bukan solusi mengatasi kejahatan seksual. Pendekatan yang dilakukan harus menyeluruh. Penanganan terhadap korban harus jadi fokus utama pemerintah. Misalnya, bagaimana menghadirkan rehabilitasi dan restitusi bagi korban. Untuk itu dukungan anggaran sangat penting bagi Kementerian dan lembaga yang mengurusi korban.

“Kasus kejahatan seksual terhadap anak paling banyak di Asia itu terjadi di Indonesia. Kalau korban tidak mendapat penanganan serius (rehabilitasi) maka dia berpotensi jadi pelaku karena mengalami trauma,” tukas Saraswati.
Tags:

Berita Terkait