Vonis Lebih Tinggi dari Tuntutan, Boleh Nggak Sih?
Penelitian MA 2015:

Vonis Lebih Tinggi dari Tuntutan, Boleh Nggak Sih?

Hakim salah jika menghukum seseorang melebihi batas maksimum hukuman yang ditentukan Undang-Undang.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Agung. Foto: RES
Gedung Mahkamah Agung. Foto: RES
Indonesia Corruption Watch (ICW) berkali-kali melansir kecaman terhadap putusan hakim dalam perkara korupsi yang cenderung ringan, jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa. Putusan ringan seolah tidak menimbulkan efek jera dalam pemberantasan korupsi. Namun dalam praktik, sudah berkali-kali terdakwa korupsi yang divonis bebas di tingkat pertama justru dihukum berat di tingkat kasasi.

Bahkan hukuman yang dijatuhkan acapkali lebih berat dari rekuisitor penuntut umum. Pertanyaan sederhananya, bolehkah hakim menjatuhkan hukuman lebih tinggi daripada tuntutan jaksa kepada terdakwa? Pertanyaan ini menjadi satu dari banyak persoalan hukum acara pidana (KUHAP) yang muncul ke permukaan.

Dalam rangka menjawab pertanyaan itu pula sebuah tim peneliti Mahkamah Agung, di bawah koordinasi Sudharmawatiningsih, melakukan penelitian. Hasil penelitian itu sudah dibukukan oleh Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung. Sebagai kajian yang sudah terpublikasi masyarakat layak mengetahui hasil penelitian itu.

Bagaimana hasilnya? Pertama-tama harus diingat dulu secara normatif, tidak ada satu pasal pun di dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) yang mengharuskan hakim memutus pemidanaan sesuai rekuisitor penuntut umum. Hakim memiliki kebebasan untuk menentukan pemidanaan sesuai dengan petimbangan hukum dan nuraninya.

Dengan demikian, sangat mungkin putusan hakim berbeda bentuk. Misalnya, hakim menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak), atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging). Dalam hal pidana terbukti, vonis yang dijatuhkan hakim sangat mungkin lebih rendah atau lebih tinggi dari tuntutan jaksa. Kalau lebih rendah dari tuntutan jaksa, Komisi Pemberantasan Korupsi biasanya punya standar. Kalau putusan hakim tak sampai dua pertiga dari tuntutan, maka KPK akan mengajukan banding.

Selanjutnya, perlu juga dipahami tidak ada aturan KUHAP yang menyatakan tegas surat dakwaan jaksa sebagai dasar atau landasan pemeriksaan dalam forum persidangan. Cuma, Pasal 182 ayat (3) dan ayat (4) menyebut implicit majelis hakim menentukan putusan berdasarkan surat dakwaan. Dalam yurisprudensi juga dianut paham putusan pengadilan harus merujuk pada surat dakwaan. Misalnya putusan MA No. 68 K/Kr/1973 dan No. 47 K/Kr/1956, dua putusan yang lahir sebelum era KUHAP.

Berdasarkan penelitian tim, putusan pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan jaksa bisa berupa pidana penjara, bisa pula berupa denda, uang pengganti, bahkan pidana pengganti. Peneliti berkesimpulan sekalipun hakim menjatuhkan putusan lebih tinggi berdasarkan pertimbangan tertentu, putusan itu tak melanggar KUHAP. Yang terlarang adalah jika hakim menjatuhkan vonis lebih tinggi dari ancaman maksimal yang ditentukan undang-undang.  Terlarang pula menjatuhkan jenis pidana tidak ada dalam KUHP jika yang dipakai sebagai dasar adalah KUHAP.

Contoh Kasus
Dalam putusan No. 1616 K/Pid.Sus/2013, Mahkamah Agung telah mengoreksi putusan Pengadilan Tipikor Jakarta yang hanya menghukum terdakwa 4,5 tahun dari 12 tahun rekuisitor jaksa. Majelis hakim agung yang memeriksa perkara ini menjatuhkan putusan pidana penjara, denda, dan pengenaan uang pengganti yang sama dengan permintaan jaksa. Hakim hanya menambahkan hukuman pidana pengganti dari pidana denda berupa pidana kurungan. Hukuman dari hakim kasasi lebih tinggi dua bulan dari yang diminta. Hakim juga menjatuhkan pidana penjara pengganti jika uang pengganti tak dibayar, lebih tinggi dari tuntutan jaksa.

Dalam putusan MA No. 510 K/Pid.Sus/2014, majelis hakim agung menghukum terdakwa 18 tahun penjara, lebih tinggi tiga tahun dari tuntutan jaksa. Bahkan jauh lebih tinggi dari vonis Pengadilan Tipikor PN Tanjungkarang yang hanya menghukum 5 tahun penjara, dan pengadilan banding yang hanya menguatkan putusan sebelumnya.

Dalam mempertimbangkan vonis yang lebih berat tersebut majelis hakim agung mencantumkan pertimbangan-pertimbangan. Majelis hakim, menurut peneliti, bisa menggunakan keadilan subtantif. Tim peneliti menegaskan bahwa dalam menjalankan tugas mengadili dan memutus perkara, hakim harus menaati dan mengikuti asas-asas hukum acara pidana, dan niscaya bisa menggunakan penafsiran hukum.

“Hakim memiliki kebebasan untuk mempidana melebihi tuntutan untuk memenuhi rasa keadilan dan nurani atau keyakinan yang dimilikinya terhadap tujuan atau filosofi pemidanaan yang dianut baik bagi kepentingan pelaku, korban, kepentingan masyarakat/umum maupun bagi eksistensi negara”.

Tags:

Berita Terkait