Ajaran Kausalitas dalam Kasus Pembunuhan Berencana
Berita

Ajaran Kausalitas dalam Kasus Pembunuhan Berencana

Jika jaksa tak membuktikan syarat perbuatan, sulit melangkah ke tahap selanjutnya.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Sidang pembunuhan berencana di PN Jakarta Pusat. Tampak dalam gambar terdakwa Jessica Kumala Wongso dalam salah satu sidang. Foto: RES
Sidang pembunuhan berencana di PN Jakarta Pusat. Tampak dalam gambar terdakwa Jessica Kumala Wongso dalam salah satu sidang. Foto: RES
Kasus pembunuhan berencana Wayan Mirna Salihin termasuk salah satu tindak pidana yang menarik perhatian banyak orang. Ruang sidang nyaris selalu penuh pengunjung; sidang acapkali berlangsung hingga tengah malam; dan sebagian sidangnya disiarkan televisi secara langsung.

Rasa penasaran membuat banyak orang concern pada kasus ini; ingin mengetahui apa sebenarnya penyebab kematian Wayan Mirna Salihin. Belasan ahli sudah memberikan pendapat di dalam sidang. Perdebatan-perdebatan ilmiah pun sering muncul. Pokok pertanyaan yang hendak dijawab adalah perbuatan apa yang menyebabkan Mirna meninggal? Benarkah karena racun sianida seperti didalilkan penuntut umum?

Pertanyaan ini akan bermuara pada ajaran kausalitas dalam hukum pidana. Kausalitas adalah hubungan atau proses antara dua atau lebih kejadian, dimana salah satu faktor menyebabkan yang lain. Seseorang terbunuh adalah akibat dari satu perbuatan. Dalam pembunuhan berencana, berarti ada perbuatan berencana dilanjutkan dengan perbuatan tertentu yang berakibat pada kematian seseorang. (Baca juga: Pro Kontra ‘Motif’ dalam Pembunuhan Berencana).

Dosen Hukum Pidana Universitas Binus Jakarta, Ahmad Sofian, mengatakan dalam proses penanganan perkara pembunuhan berencana, yang pertama-tama harus dikejar adalah perbuatan. Perbuatan-perbuatan apa yang dilakukan oleh terdakwa yang menimbulkan akibat. Dalam ajaran kausalitas, peristiwa ini disebut factual position. Dalam kasus pembunuhan berencana Wayan Mirna Salihin, maka factual position-nya adalah pertemuan di kafe Olivier, mengobrol, dan meminum es kopi vietnam yang diduga mengandung racuan sianida.

Setelah itu barulah masuk ke tahap legal position. Di sini perlu dibuktikan apakah ada perbuatan melanggar hukum yang dilakukan, sehingga timbul akibat (yakni meninggalnya Wayan Mirna Salihin). Jika penuntut umum tak bisa membuktikan perbuatan melanggar hukum, maka pertemuan terdakwa, korban dan teman mereka di kafe hanya pertemuan biasa. “(Jika tak bisa membuktikan ada perbuatan melanggar hukum), itu hanya perbuatan yang datar saja,” kata Sofian dalam perbincangan dengan Hukumonline beberapa waktu lalu.

Ajaran kausalitas, kata doktor ilmu hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu, berkembang dalam doktrin. Terutama untuk menentukan legal position yang menimbulkan akibat.

Von Buri, mantan Ketua Mahkamah Tinggi Jerman pada Perang Dunia II, dikenal dengan teori condition sine qua non. Von Buri tidak membedakan syarat dan sebab. Syarat dan sebab adalah inti ajaran-ajaran kausalitas. Syarat, kata dia, adalah bagian dari rangkaian proses terjadinya akibat. Suatu pembunuhan berencana bisa jadi disebabkan sejumlah syarat. Seseorang bisa saja meninggal karena minum racun, jatuh, salah diagnosis dokter, atau penyebab lain sekaligus. Doktrin ini tidak memilih sebab yang paling berpengaruh atas terjadinya kematian korban.

Tak setuju dengan von Buri, L. Traeger berpendapat jika ada beberapa syarat atau sebab, maka harus dicari sebab yang paling dekat menimbulkan akibat yang dilarang undang-undang. Ia tidak setuju semua perbuatan yang mendahulu kematian korban sebagai syarat dari timbulnya akibat. Dalam teori masih ada beberapa variasi pandangan lain mengenai ajaran kausalitas.

Menurut Sofian, KUHP Indonesia tidak secara eksplisit merujuk pada salah satu doktrin. KUHP tidak menganut teori kausalitas tertentu. Jaksa dan hakim pada dasarnya diberi keleluasaan. Namun ada beberapa pasal dalam KUHP yang memerlukan pembuktian hubungan sebab akibat (causal verband). Misalnya, Pasal 160 KUHP tentang menghasut yang menimbulkan kerusuhan di muka umum (tindak pidana materiil), Pasal 187 ayat (1) KUHP tentang menimbulkan bahaya umum bagi barang (tindak pidana yang dikualifisir oleh akibatnya), dan Pasal 164 KUHP tentang mencegah timbulnya permufakatan jahat (tindak pidana omissie tidak murni).

Diakui Sofian, tugas seorang jaksa dalam membuktikan kasus pembunuhan berancana tidaklah mudah. Secara medis bisa saja mudah memastikan bahwa korban sudah meninggal. Dokter bisa memastikan itu segera. Tetapi membuktikan sebab kematian korban tak semudah membalik telapak tangan. Perdebatan para ahli mengenai benar tidaknya sianida sebagai penyebab kematian Mirna dalam kasus yang lagi disidangkan di PN Jakarta Pusat membuktikan kesulitan itu. “Jaksa harus bisa membuktikan asumsinya mengenai penyebab kematian korban,” ujarnya.

Jika jaksa tak bisa membuktikan perbuatan melanggar itu, sulit untuk melangkah lebih jauh ke isu kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Jadi, sebelum dicari siapa yang bertanggung jawab, cari dulu perbuatan yang menimbulkan kematian korban. “Jika tidak ditemukan, kita tidak bisa masuk ke ranah berikutnya,” tambah Sofian.
Tags:

Berita Terkait