Terungkap! Eks Petinggi Lippo Group Eddy Sindoro Tersangka
Berita

Terungkap! Eks Petinggi Lippo Group Eddy Sindoro Tersangka

Ini terungkap dari pembacaan surat tuntutan Panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution.

NOV
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Mantan petinggi Lippo Group, Eddy Sindoro ternyata telah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka. Hal ini terungkap dari surat tuntutan terdakwa Panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Edy Nasution yang dibacakan penuntut umum KPK, Dzakiyul Fikri di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/11).

Sebagaimana diketahui, Edy tertangkap tangan KPK usai menerima uang dari Doddy Aryanto Supeno di area parkir basement Hotel Acacia, Jakarta Pusat pada 20 April 2016. Saat ini, perkara Doddy telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Doddy divonis empat tahun penjara dan denda Rp150 juta subsidair tiga bulan kurungan.

Sementara, perkara Edy masih dalam tahap penuntutan. Pada bagian akhir surat tuntutan Edy, Dzakiyul membacakan bahwa barang bukti nomor urut satu hingga 452 berupa satu buah media USB flashdisk merek Sandisk Cruzer Blade kapasitas 4GB warna hitam diminta untuk digunakan sebagai barang bukti dalam perkara lain, yaitu perkara Eddy Sindoro.

Lazimnya, penuntut umum akan meminta kepada majelis hakim agar barang bukti tidak dikembalikan atau dirampas terlebih dahulu apabila masih dipergunakan untuk perkara lain. Artinya, jika barang bukti perkara Edy diminta untuk dijadikan sebagai barang bukti dalam perkara Eddy Sindoro, KPK kini tengah menangani perkara Eddy Sindoro. (Baca Juga: Urus Perkara Terkait Lippo Group, Panitera PN Jakpus Dituntut 8 Tahun Bui)

Benar saja, Dzakiyul yang dimintai penjelasan mengenai hal ini, usai sidang, mengatakan memang ada perkara lain yang membutuhkan barang bukti sebagaimana dalam perkara Edy. Perkara yang dimaksud adalah perkara Eddy Sindoro. Lantas, apakah KPK sudah melakukan penyidikan terhadap Eddy? “Ya otomatis,” ujarnya.

Ketika ditegaskan, apakah Eddy Sindoro juga telah ditetapkan KPK sebagai tersangka? Dzakiyul menjawab, “Ya otomatis. (Lebih lanjut tanyakan) Itu di kantor (KPK)”. Ia mempersilakan menanyakan lebih lanjut mengenai penetapan tersangka Eddy ke kantor KPK. Sebab, yang menetapkan tersangka adalah penyidik.

Selama ini, KPK mengaku masih mencari keberadaan Eddy. KPK, melalui Direktorat Jenderal Imigrasi, telah mencegah Eddy berpergian ke luar negeri pada 28 April 2016. Namun, sejak perkara Edy dan Doddy masih berproses di penyidikan, Eddy tidak pernah hadir memenuhi panggilan penyidik KPK untuk diperiksa sebagai saksi. (Baca Juga: Sopir Ungkap Kedekatan Majikannya dengan Pejabat Negara)

Eddy sendiri tercatat sebagai Chairperson PT Paramount Enterprise International. Eddy juga pernah menduduki sejumlah jabatan penting di Lippo Group, antara lain Komisaris PT Lippo Karawaci Tbk, Presiden Komisaris PT Lippo Cikarang Tbk, PT Lippo Land Development Tbk, Chairman dan Presiden Direktur PT Bank Lippo Tbk, PT Siloam Healthcare Tbk, serta Komisaris PT Multipolar Tbk dan PT Matahari Putra Prima Tbk.

Keterkaitan Eddy dengan perkara Edy dan Doddy, tak lain sebagai orang yang bersama-sama Doddy, Wresti Kristian Hesti, Direktur PT Jakarta Baru Cosmopolitan (JBC) Ervan Adi Nugroho, dan Direktur PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) Hery Soegiarto menyuap Edy. Eddy juga disebut memiliki kedekatan dengan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi.

Doddy dan Hesti merupakan anak buah dari Eddy. Pemberian suap kepada Edy disebut untuk melancarkan pengurusan perkara Lippo Group di PN Jakarta Pusat. Pertama, untuk menunda proses pelaksanaan aanmaning (teguran) terhadap PT MTP melawan Kwang Yang Motor Co Ltd (PT Kymco) dengan imbalan Rp100 juta.

Kedua, untuk pengajuan Peninjauan Kembali (PK) perkara niaga Across Asia Limited (AAL) melawan PT First Media Tbk meski sudah melewati masa waktu pengajuan PK. Dan, Ketiga, untuk mengubah jawaban PN Pusat dalam permohonan eksekusi tanah PT JBCterkait permohonan eksekusi putusan Raad Van Yustitie tanggal 12 Juli 1940 No 232/1937. (Baca Juga: Penyuap Panitera PN Jakpus Divonis 4 Tahun)

Dalam perkara ini, Edy telah dituntut dengan pidana penjara selama delapan tahun dan denda Rp300 juta subsidair lima bulan kurungan. Edy dianggap terbukti menerima suap sejumlah Rp2,3 miliar sebagaimana Pasal 12 huruf a UU Tipikor jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, serta gratifikasi Rp10,35 juta, AS$70 ribu, dan Sing$9852 sebagaimana Pasal 12 B UU Tipikor.
Tags:

Berita Terkait