MK Diminta ‘Mentahkan’ Uji Persamaan Jabatan Hakim MK dan Hakim Agung
Berita

MK Diminta ‘Mentahkan’ Uji Persamaan Jabatan Hakim MK dan Hakim Agung

Pihak Terkait menyarankan agar Para Pemohon lebih baik memberi saran kepada pembuat Undang-Undang demi melahirkan satu sistem ideal mengenai mekanisme rekrutmen hakim MK.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES
Aktivis perempuan Nursyahbani Kantjasungkana bersama Dadang Trisasongko resmi menjadi Pihak Terkait di sidang permohonan pengujian beberapa pasal mengenai masa jabatan hakim konstitusi dan hakim agung. Permohonan ini tengah diuji dua hakim, Binsar M. Gultom dan Lilik Mulyadi, dan pengurus Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSSUI). Kini, dua permohonan ini tinggal menunggu putusan.   

Kuasa hukum Nursyahbani dan Dadang, Fadli Ramadhanil mengatakan kliennya telah resmi mendaftarkan diri sebagai pihak terkait lantaran merasa berkepentingan dengan perkara masa jabatan hakim konstitusi ini. Sebab, keduanya tercatat sebagai Dewan Pembina YLBHI yang turut melakukan perbaruan hukum, perlindungan hak asasi manusia, serta mendorong bagaimana membangun peradilan yang bersih, mandiri, dan akuntabel.

“Kita berharap permohonan ini tidak dapat diterima karena sebenarnya permohonan ini bukanlah kewenangan MK. Kita berharap keterangan ini akan menjadi pertimbangan dalam Rapat Permusyaratan Hakim (RPH),” kata Fadli di Gedung MK, Senin (28/11). (Baca Juga: Ahli Ini Dukung Persamaan Jabatan Hakim Konstitusi dan Hakim Agung)

Fadli menerangkan, ada tiga alasan pokok agar permohonan ini tidak dapat diterima. Pertama, permohonan ini melanggar asas nemo judex ideoneus in propria causa, yakni seorang tidak dapat menjadi hakim untuk mengadili kepentingan dirinya sendiri. Hal ini tentunya akan menimbulkan konflik kepentingan ketika memutus perkara yang bersangkutan.

“Alasan terpenting, permohonan ini menimbulkan conflict of interest. Makanya, ada adagium (asas) yang berlaku itu tidak ada hakim yang mengadili kepentingan hakim itu sendiri karena potensial menimbulkan konflik kepentingan,” kata Fadli.

Dia menilai dalil para pemohon yang menyebut masa jabatan hakim MK akan mengganggu independensi hakim dalam menerima, memeriksa, dan memutus perkara tidaklah relevan. Baginya, masa jabatan apapun berlaku umum dengan pembatasan. “Tidak ada jabatan tanpa pembatasan,” tegasnya.      

Menurutnya, masa jabatan hakim konstitusi agar dipersamakan dengan hakim agung ini bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan kebijakan hukum terbuka yang merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang. “Ada posita dan alasan hukum tidak relevan dengan kewenagan MK. Harusnya permohonan ini tidak perlu dibawa ke MK karena masa jabatan adalah kebijakan hukum (terbuka),” lanjutnya. (Baca Juga: Begini Konsekuensi Logis Status Hakim Pejabat Negara)

Untuk itu, Fadli menyarankan agar Para Pemohon lebih baik memberi saran kepada pembuat Undang-Undang demi melahirkan satu sistem ideal mengenai mekanisme rekrutmen hakim MK. “Hingga kini pengusul hakim MK, yakni DPR, MA, dan Presiden masih menggunakan aturannya masing-masing dalam proses pemilihan hakim MK,” tambahnya.

Sebelumnnya, pengurus Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSSUI) mempersoalkan aturan periodeisasi masa jabatan hakim konstitusi per lima tahun selama dua periode dan masa jabatan pimpinan MK per tiga tahun lewat uji materi Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 22 UU MK. Aturan ini dianggap diskriminatif karena kedudukan hakim di lembaga peradilan manapun seharusnya tidak mengenal periodeisasi masa jabatan.
 
Mereka membandingkan dengan masa jabatan hakim agung dalam UU No. 3 Tahun 2009  tentang Mahkamah Agung (MA). Dalam UU MA, masa jabatan hakim agung atau pimpinan MA diberhentikan dengan hormat ketika memasuki usia pensiun 70 tahun tanpa periodeisasi lima tahunan. Menurutnya, munculnya Pasal 22 UU MK tak terlepas dari kepentingan politik karena UU MK merupakan produk politik hukum negara.
(Baca Juga: Tiga Fokus KY dalam RUU Jabatan Hakim)
 
Bagi Pemohon norma tersebut mengandung pembatasan masa jabatan hakim konstitusi yang bertentangan dengan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dijamin Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945. Aturan ini setidaknya potensial membatasi MK dalam penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Karena itu, Pemohon berharap kedua pasal tersebut dihapus karena bertentangan dengan UUD 1945.


Aturan yang sama juga dimohonkan pengujian Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Binsar M. Gultom bersama Hakim Tinggi Medan Lilik Mulyadi yang memohon pengujian Pasal 6B ayat (2); Pasal 7 huruf a angka 4 dan 6; Pasal 7 huruf b angka 1-4 UU MA jo Pasal 4 ayat (3); dan Pasal 22 UU MK terkait periodeisasi masa jabatan hakim MK dan pimpinan MK. Khusus Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 22 UU MK, Para Pemohon meminta ada persamaan masa jabatan hakim konstitusi dan pimpinan MK dengan masa jabatan hakim agung dan pimpinan MA. Kedua permohonan ini tinggal menunggu putusan.

Tags:

Berita Terkait