Apindo: Outsourcing Harus Melindungi Hak Pekerja
Berita

Apindo: Outsourcing Harus Melindungi Hak Pekerja

Pemerintah diharapkan merevisi peraturan perundang-undangan yang menghambat bisnis alih daya.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Pengusaha meminta pemerintah menata aturan outsourcing. Foto: HOL/SGP
Pengusaha meminta pemerintah menata aturan outsourcing. Foto: HOL/SGP
Kandasnya uji materiil terhadap Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Permenakertrans) No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain oleh Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (Abadi) pada 2014 tidak menyurutkan semangat asosiasi pengusaha Indonesia (Apindo) untuk mendesak pemerintah merevisi regulasi tersebut. Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini dirasa membatasi perkembangan bisnis alih daya (outsourcing).

Walau pemerintah telah merevisi peraturan yang dikenal dengan Permenaker Outsourcing itu melalui Permenaker No. 27 Tahun 2014, Apindo masih belum puas. Direktur Marketing Apindo Training Center, Iftida Yasar, menilai peraturan terbanyar itu pun diskriminatif bagi perusahaan outsourcinglokal karena memberi karpet merah terhadap perusahaan outsourcingmodal asing. (Baca juga: Menaker-Menteri BUMN Cari Solusi Outsourcing)

Salah seorang pendiri Abadi itu mengatakan praktik outsourcingdinilai negatif karena banyak perusahaan outsourcingyang tidak mematuhi peraturan. Padahal, tidak semua perusahaan outsourcing berperilaku begitu. “Paling penting dalam outsourcingitu bagaimana memberikan perlindungan terhadap hak-hak pekerja. Salah satunya jaminan penghasilan (income security),” katanya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (09/2).

Bisnis outsourcingsecara internasional semakin berkembang pesat. Iftida mencatat hampir semua perusahaan melakukan praktik outsourcing. Bahkan ada klausul internasional yang mewajibkan perusahaan outsourcing untuk patuh terhadap hukum dan HAM, termasuk memenuhi hak-hak pekerja/buruh sesuai peraturan yang berlaku. Jika ditemukan pelanggaran, perusahaan pemberi pekerjaaan dan perusahaan outsourcing itu bisa dikenakan sanksi.

Hal itu yang mendorong Apindo untuk melakukan sosialisasi terhadap seluruh perusahaan outsourcing di Indonesia agar menjalankan bisnisnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Iftida mencontohkan praktik outsourcingdi Jepang, jumlah pekerja outsourcingdi negara itu mencapai 43 persen. Banyak pekerja di Jepang yang mau menjadi outsourcing karena hak-hak mereka sama seperti pekerja tetap. Begitu juga dengan perlindungannya.

Praktik alih daya di Indonesia jauh ketinggalan dengan Jepang. Di Indonesia pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak pekerja outsourcing dan tetap sangat timpang. Banyak persoalan ketenagakerjaan yang menimpa pekerja outsourcing di Indonesia. Oleh karenanya Iftida menegaskan harus ada perbaikan dalam praktik outsourcing di Indonesia.

Selaras itu peraturan perundang-undangan terkait outsourcing juga harus diperbaiki. Misalnya, jenis pekerjaan yang boleh di-outsourcing mestinya tidak boleh dibatasi. Permenaker membatasi hanya 5 jenis pekerjaan yang bisa di-outsourcing melalui mekanisme penyediaan jasa pekerja/buruh. Untuk outsourcing pemborongan pekerjaan, Iftida mengusulkan agar itu tidak diatur dalam Permenaker ataupun UU Ketenagakerjaan karena itu bersifat bisnis murni (perdata). Tak kalah penting, pemerintah harus memperkuat pengawasan.

Sekjen Abadi, Hadi Busono, mengatakan hak pekerja outsourcing dan tetap harus sama. Dengan begitu pekerja bisa mendapatkan jaminan pekerjaan (job security). Praktik itu yang digunakan negara lain dalam melaksanakan outsourcing karena tujuan outsourcing itu meningkatkan produktivitas dan kompetensi. Perusahaan akan meraih keuntungan dari produktivitas dan kompetensi itu. (Baca juga: Ini Pedoman Pelaksanaan Permenakertrns Outsourcing).

Sedangkan sebagian perusahaan outsourcing di Indonesia melakukan praktik yang berbeda, alih-alih meningkatkan produktivitas dan kompetensi tapi malah memotong hak-hak pekerja outsourcing. Menurut Hadi perusahaan outsourcing yang baik itu punya pusat pelatihan untuk mendidik tenaga kerja. Setelah tenaga kerja punya bekal yang cukup, barulah perusahaan outsourcing menawarkan jasanya kepada perusahaan pemberi pekerjaan. “Kami mengimbau semua perusahaan outsourcing untuk patuh aturan. Kalau melanggar hukum lebih baik perusahaan outsourcing itu ditutup,” tukasnya.

Hadi mengatakan yang penting dilakukan saat ini bagaimana melaksanakan isu TUPE (Transfer of Undertaking Protection of Employment) sebagaimana tertuang dalam putusan MKNo. 27/PUU-XI/2011. Isu itu kaitannya dengan jaminan atas pekerjaan bagi pekerja. Sebab ketika perusahaan outsourcing yang digunakan sebuah perusahaan pemberi pekerjaan diganti oleh perusahaan outsourcing lain, bagaimana nasib pekerja outsourcing? Apakah tetap bisa bekerja atau ikut berganti. (Baca juga: Penting!! Peralihan Pekerja Lewat Penetapan Pengadilan).
Tags:

Berita Terkait