Ikhtiar Jaga Integritas, Begini Masukan Sejumlah Tokoh kepada MK
Berita

Ikhtiar Jaga Integritas, Begini Masukan Sejumlah Tokoh kepada MK

Faktor profesionalisme dan integritas menjadi kunci untuk menjaga independensi dan akuntabilitas MK sebagai lembaga peradilan.

CR-23
Bacaan 2 Menit
Diskusi Publik bertemakan “Mahkamah Konstitusi Mendengar: Ikhtiar Menjaga Integritas dan Profesionalitas MK
Diskusi Publik bertemakan “Mahkamah Konstitusi Mendengar: Ikhtiar Menjaga Integritas dan Profesionalitas MK" di Hotel Borobudur Jakarta, Kamis (9/3). Foto: CR-23
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar Diskusi Publik bertemakan “Mahkamah Konstitusi Mendengar: Ikhtiar Menjaga Integritas dan Profesionalitas MK.” Acara ini sendiri dihadiri beberapa pimpinan lembaga peradilan, diantaranya Ketua Mahkamah Agung M. Hatta Ali, Ketua Komisi Yudisial Aidul Fitrciada Azhari, dan para mantan hakim konstitusi dan hakim agung.

Ketua MK Arief Hidayat, dalam sambutannya, mengatakan ada tiga area yang patut diperhatikan sehubungan dengan ikhtiar peningkatan kinerja dan performance MK. Pertama, pembenahan dan peningkatan budaya kerja, baik pada level hakim konstitusi maupun aparatur Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK. “Ini sebagai supporting system yang terintegrasi,” kata Arief di Hotel Borobudur Jakarta, Kamis (09/3/2017).

Kedua, penerapan dan penguatan budaya integritas dan zona bebas korupsi di MK. Ketiga, sistem dan mekanisme rekrutmen hakim konstitusi. Meski isu ini bukan wilayah MK, tetapi faktanya isu ini menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan dari logika publik ketika mengamati dan menilai kinerja MK.

Arief menjelaskan sejak berdirinya,  MK berupaya menerapkan prinsip tata kelola peradilan yang baik (good judiciary governance). Prinsip tersebut meliputi transparency, fairness, impartiality, independency dan accountability.

Selaras dengan itu, Mantan Ketua MK Jimly Assidiqqie mengatakan kunci penting mengatasi persoalan MK adalah membangun budaya kerja. Budaya kerja tidak melulu persoalan akademisi. Sistem budaya kerja harus dikelola untuk membangun peradilan modern dan terpercaya. Menurutnya, Keadilan yang tertunda sama saja dengan keadilan yang terabaikan atau Justice Delay Justice Denied.

Menurutnya, ada kendala untuk membangun peradilan modern dan terpercaya yakni budaya feodal. Seandainya pada tahun 1945 diadakan referendum bisa saja yang menang kejahatan, apakah mau republik atau kerajaan. Feodalisme masih hidup sampai sekarang di budaya republik ini. “Makanya, harus dijaga budaya kerja yang tidak feodal. Dalam suasana tidak feodal, Insya Allah, (MK) akan lebih baik,” kata Jimly.

Mantan Ketua MA Bagir Manan menilai berbagai wewenang yang melekat pada MK mempunyai nuansa politik. Mengapa yang menyelesaikan sengketa politik adalah MK? Perbedaan MK dengan lingkungan badan peradilan lain adalah kalau peradilan lain nuansa politiknya di luar. Sedangkan MK nuansa politiknya di dalam. Karena itu, hakim konstitusi membutuhkan prasyarat yang lebih ketat.

“Jangan sampai MK terperosok, dimana MK sebuah subsistem besar dalam makna sistem kenegaraan, sistem politik, sistem sosial, dan sistem budaya. Atas dasar itu, berbagai prahara yang dialami juga disebabkan pada faktor-faktor di luar MK disamping faktor-faktor di dalam MK sendiri,” kata Bagir.

“Menemukan faktor-faktor di luar MK itu sama sekali tidak dimaksud menghapus tanggung jawab internal MK atau bukan untuk 'cuci tangan'.”

Menurut Manan, MK tidak hanya sekedar sebagai constitutionalist, tetapi menjadi law maker. Bahkan, menjadi penentu arah kebijakan negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, yang perlu diperhatikan hakim MK adalah menjunjung tinggi berbagai prinsip penting. Yakni, demokrasi yang memberi kekuasaan pada badan perwakilan rakyat sebagai pembentuk UU, ada jenis kekuasaan eksklusif yang merupakan wewenang eksekutif, menjunjung tinggi batas-batas prinsip checks and balances, hakim atau pengadilan mengembangkan self restraint.

Di tempat yang sama, Anggota Komisi III DPR Habib Aboe Bakar Alhabsyi mengatakan MK lahir untuk menjaga kesesuaian UU dengan konstitusi, maka MK sering disebut pengawal konstitusi dalam perkembangan negara modern. MK di berbagai negara sangat terkait dengan perkembangan prinsip konstitusionalisme, prinsip negara hukum, prinsip check and balances, prinsip demokrasi, jaminan perlindungan hak asasi manusia, prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak.

Beban dan tugas MK sangat berat, sehingga diperlukan public trust yang harus terjaga dengan baik. Karena itu, MK harus menjaga kepercayaan publik dengan cara menetapkan SOP yang ketat, menjaga integritas hakim konstitusi, dan menerapkan sistem penangaanan perkara yang baik.

“Kepercayaan publik kepada MK mulai terganggu ketika terjadi beberapa kasus OTT KPK. Akibat OTT tersebut seolah masyarakat kehilangan harapan, padahal mereka menaruh harapan tinggi terhadap MK. Saya melihat crisis management yang diterapkan MK saat ini cukup baik, sehingga persoalan OTT ini tidak menimbulkan total lost kepercayaan publik.”

Dia menerangkan MK memiliki kekuasaan yang luar biasa, mulai membatalkan UU, memutus sengketa pemilu/pilpres, memakzulkan presiden, menangani sengketa kewenangan lembaga negara, hingga pembubaran partai politik. Karenanya, para hakim konstitusi harus benar-benar seorang pribadi yang luar biasa. Harus taat terhadap sistem internal dan kode etik yang telah ditetapkan.

Habib Aboe Bakar pun juga mengutip pernyataan Ketua MK Arief Hidayat yang berbunyi “Kita berhukum, membuat hukum, menegakkan hukum harus disinari sinar Ketuhanan.” “Ini ungkapan mendalam sebuah kesadaran aspek transendental yang perlu terus dijaga,” katanya.

Ketua Komisi Yudisial Aidul Fitriciada Azhari menambahkan profesionalisme dan integritas menjadi kunci yang harus dipegang teguh oleh seorang hakim dalam menjaga independensi dan akuntabilitas peradilan. Di sisi lain, kemandirian peradilan tidak boleh dipandang sebagai keistimewaan atau hak prerogatif hakim yang kedap terhadap tuntutan akuntabilitas.

Artinya, independensi dan akuntabilitas harus dilaksanakan secara bersamaan, tidak boleh mengutamakan yang satu daripada yang lain. Manakala independensi dilaksanakan tanpa akuntabilitas akan melahirkan peradilan yang kedap rasa keadilan masyarakat. Sebaliknya, akuntabilitas yang berlebihan, maka peradilan akan berkembang menjadi instrumen kekuasaan atau kepentingan pihak lain.

“Kehadiran KY menjadi relevan untuk keseimbangan independensi dan akuntabilitas ini, untuk memunculkan kesadaran akan pentingnya kode etik dan perilaku hakim yang pelaksanaan diawasi dan ditegakkan oleh KY,” kata Aidul.

Menurut Aidul, MK selama ini tampil sebagai organisasi yang profesional. Namun, profesionalisme saja tidak cukup. Karena itu, faktor Integritas menjadi kunci untuk menjaga independensi dan akuntabilitas MK sebagai lembaga peradilan. Sebab, integritas terkait pemahaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai etika profesi sebagai hakim. “Faktor etika juga penting menjadi instrumen untuk mencegah terjadinya korupsi yang diwujudkan dengan menyusun kode etik dan penegakkannya.”
Tags:

Berita Terkait