Ketentuan E-Voting, RUU Pemilu Harus Selaras Putusan MK
Berita

Ketentuan E-Voting, RUU Pemilu Harus Selaras Putusan MK

Ada sejumlah syarat yang harus terpenuhi secara kumulatif sebelum menggunakan pemungutan suara elektronik.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Komisioner KPU Hadar Gumay. Foto: RES
Komisioner KPU Hadar Gumay. Foto: RES
Pemerintah dan DPR sedang mempersiapkan RUU Pemilu untuk menggantikan UU Pemilu yang berlaku saat ini. Klausula tentang pemungutan suara elektronik (e-voting) dalam proses pemilihan umum (pemilu) termasuk salah satu isu yang mendapat sorotan. Penggunaan teknologi itu diyakini dapat membuat penyelenggaraan pemilu menjadi efektif dan efisien.

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, mencatat gagasan penerapan e-voting dalam pemilu sudah dimulai sejak tahun 2009. Ditandai dengan terbitnya putusan MK No. 147/PUU-VII/2009. Putusan terhadap uji materi pasal 88 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah itu intinya pemberian suara untuk pemilihan kepala daerah dan wakilnya dapat dilakukan dengan menggunakan metode e-voting. (Baca juga: E-Voting untuk Pilkada Butuh Kajian Serius).

Titi menegaskan dalam putusan itu MK menekankan dua syarat yang harus terpenuhi sebelum e-voting diselenggarakan. Pertama, tidak melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Kedua, daerah yang menerapkan e-voting sudah siap dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia atau perangkat lunaknya. MK juga mengingatkan agar dicek apakah masyarakat di daerah bersangkutan sudah siap, dan persyaratan lain yang diperlukan. (Baca juga: MK Serap Pengalaman e-Voting di Negara Lain).

Putusan MK itu telah diakomodasi dalam Pasal 85 UU No. 1 Tahun 2015 juncto UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal itu menyebut pemberian suara untuk pemilihan dapat dilakukan dengan cara memberi suara melalui peralatan pemilihan suara secara elektronik. Keinginan pemerintah untuk menggulirkan metode e-voting menurut Titi sangat kuat. Itu terlihat dari pernyataan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, yang ingin e-voting digunakan dalam Pilkada 2017. (Baca juga: MK Bolehkan e-Voting dalam Pilkada).

Selaras keinginan Pemerintah, DPR juga memasukan ketentuan e-voting dalam Pasal 329 ayat (2) sampai (5) RUU Pemilu. Ketentuan itu menyebut e-voting dilakukan berdasarkan prinsip memudahkan pemilih, akurasi dalam penghitungan suara dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemilu. Penerapan e-voting dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan pemerintah dari segi infrastruktur dan kesiapan masyarakat berdasarkan prinsip efisiensi dan mudah. Terakhir, ketentuan lebih lanjut e-voting diatur lewat Peraturan KPU.

Titi menilai ketentuan e-voting dalam RUU Pemilu itu mereduksi persyaratan yang harus terpenuhi sebagaimana diamanatkan MK. Menurutnya, RUU Pemilu harus memasukan sejumlah syarat yang ditetapkan MK sebelum e-voting diterapkan. “DPR mengurangi berbagai syarat penyelenggaraan e-voting yang diamanatkan MK,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Selasa (14/3).

Menurut Titi, pemerintah dan DPR harus mengedepankan kebutuhan daripada keinginan untuk menggunakan e-voting. Teknologi yang akan digunakan itu harus dikaji secara serius, transparan dan akuntabel serta diuji publik. Pemanfaatan teknologi berpotensi memunculkan masalah baru jika tidak didasarkan pada solusi untuk menjawab masalah yang ada.

Penggunaan e-voting dalam pemilu tidak lantas menyelesaikan semua masalah. Bahkan penggunaan teknologi itu memunculkan masalah baru. Oleh karenanya Titi mencatat sebagian negara maju tidak lagi menggunakan e-voting, tapi kembali pada metode konvensional. Seperti Belanda dan Jerman.

Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay, mengatakan jika menggunakan teknologi dalam penyelenggaraan pemilu seolah-olah semua masalah bisa selesai. Namun, dari kajian yang dilakukan, KPU berkesimpulan Indonesia belum memerlukan e-voting. (Baca juga: KPU: Menerapkan e-Voting Tidak Mudah).

Bagi KPU yang lebih dulu harus dilakukan yaitu mengidentifikasi dulu masalah yang ada dalam penyelenggaraan pemilu selama ini. Barulah kemudian mencari teknologi apa yang dapat membantu memecah persoalan tersebut. “Teknologi yang dibutuhkan saat ini untuk Indonesia bukan e-voting tapi e-recap (rekapitulasi elektronik),” urai Hadar.

Peneliti Universitas New South Wales Australia, Manik Hapsara, menjelaskan secara umum teknologi e-voting itu berfungsi merekam, menyimpan dan memproses data pemilih secara elektronik. Prosesnya meliputi seluruh tahap pemilu dari awal sampai akhir. Ada pandangan yang beranggapan e-voting membuat penyelenggaraan pemilu jadi efisien dan efektif. Tapi faktanya banyak isu yang muncul dalam penggunaan e-voting.

Manik melihat masyarakat relatif mudah menggunakan alat e-voting tapi tidak mengerti bagaimana jika terjadi masalah. Banyak aspek yang harus disiapkan oleh sebuah negara sebelum menerapkan e-voting diantaranya kesiapan infrastruktur dan teknologi dalam negeri. Di sejumlah negara yang pernah menggunakan e-voting seperti Belanda, pemerintah sangat bergantung pada perusahaan swasta yang menjadi provider teknologi e-voting itu.

Untuk mengakses isi dari alat e-voting itu hanya perusahaan swasta itu yang mengetahui caranya. Oleh karenanya pada 2006 masyarakat Belanda pernah mengajukan protes. “Masyarakat tidak bisa mengontrol alat tersebut, mereka menyebut cara ini bukan demokrasi,” tukasnya.

Manik menegaskan teknologi yang digunakan dalam e-voting sifatnya sangat unik karena harus memenuhi sejumlah prinsip dan asas pemilu seperti jujur, adil, bebas dan rahasia. Teknologi itu sangat berbeda dengan aplikasi elektronik yang sering digunakan masyarakat. Oleh karena itu teknologi e-voting harus dibangun dari bawah ke atas, bukan sebaliknya. “Masyarakat harus dilibatkan untuk mencoba keamanan teknologi itu sampai tidak ada celah yang bisa ditembus,” sarannya.
Tags:

Berita Terkait