‘Tercium’ Persekongkolan Proyek e-KTP di DPR, Siapa Andi Narogong?
Utama

‘Tercium’ Persekongkolan Proyek e-KTP di DPR, Siapa Andi Narogong?

Andi Narogong disebut dekat dengan Setya Novanto dan sering urus proyek di DPR.

Oleh:
NOVRIEZA RAHMI
Bacaan 2 Menit
‘Tercium’ Persekongkolan Proyek e-KTP di DPR, Siapa Andi Narogong?
Hukumonline
Dugaan “persekongkolan” pemulusan anggaran proyek penerapan KTP berbasis NIK secara nasional atau KTP elektronik (e-KTP) tahun anggaran (TA) 2011-2013 di DPR diperkuat oleh kesaksian Direktur Utama PT Karsa Wira Utama (biasa disebut Karatama) Winata Cahyadi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (16/3).

Bersama sejumlah saksi lain, Winata memberi keterangannya dalam sidang perkara korupsi mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Sugiharto yang dipimpin hakim John Halasan Butar Butar.

Winata mengatakan sebelum pelaksanaan tender proyek e-KTP di Kemendagri, ia sempat diminta datang ke Hotel Crowne, Jakarta. Sugiharto sudah menunggu di sana. Tak lama, muncul Irman bersama seseorang bernama Andi Agustinus alias Andi Narogong. Seketika itu pula, Winata diperkenalkan kepada Andi Narogong.

Menurutnya, dalam pertemuan tersebut, Andi Narogong menyampaikan akan ada pengadaan proyek e-KTP di Kemendagri. Awalnya Winata tertarik. Sebab, sebelumnya, pada 2009, Winata pernah memenangkan proyek uji petik e-KTP di Kemendagri. Namun, setelah mendengar rencana Andi Narogong, ia keberatan.

Winata merasa keberatan karena Andi Narogong meminta diperbolehkan ikut “masuk” ke perusahaannya. Nanti, Andi Narogong akan diberi kewenangan untuk ikut menandatangani cek, khusus pengelolaan proyek e-KTP. Uang-uang itu rencananya akan dipergunakan untuk memuluskan proyek e-KTP.

“Saya tanya, untuk apa itu uang? Untuk goal kan project ini, saya harus lobi ke DPR. Jadi, Pak Win tidak usah keluarin uang. Saya yang keluarin uang. Jadi, keluarin uang, nanti saya catat saja di pembukuan.Kalau project selesai, dapat duit, ya you kembaliin uang saya. Nah, Andi bicara begitu sama saya,” katanya.

Ketika itu, Winata menyatakan, jika harus melobi DPR, tentu harus ada uang ekstra yang buat budget proyek membengkak. Nanti, yang tidak keluar uang budget-nya pasti lebih murah. Akan tetapi, Irman menjawab, “memang sudah seharusnya begitu untuk meyakinkan DPR agar proyek ini bisa goal harus pakai uang”.

Kemudian, Winata mempertanyakan, kalau begini, nanti tendernya bagaimana, bisa jadi mahal? Irman pun kembali menjawab, “ya kalau mahal nanti kan yang lain bisa kita gugurin. Banyak cara untuk menggugurin.” Winata juga sempat berbicara dengan Irman mengenai alokasi dana 8-10 persen untuk Kemendagri.

Usai pertemuan, Winata langsung “curhat” dengan mantan Dirjen Administasi Kependudukan Kemendagri Rasyid Saleh. “Waduh, saya diginiin nih. Saya bilang, (kalau) saya ikut-ikutan nanti kasih uang,10 bilang kasih 50, kasih 50 bilang kasih100, bisa berantem saya. Saya tidak mau,” tuturnya.

Winata mengaku, ketika itu, ia hanya ingin menceritakan peristiwa yang baru dialaminya kepada Rasyid. Tidak pernah terpikir dalam benak Winata jika proyek e-KTP akan menjadi kasus seperti sekarang ini. Bahkan, buka cuma Rasyid. Winata juga sempat menceritakan kepada orang-orang di kantornya.

Selain pihak Kemendagri, Winata sempat mendengar ada rencana alokasi untuk DPR, termasuk Badan Anggaran (Banggar). Namun, ia tidak mengetahui pasti siapa saja orang-orang yang akan diberikan uang. Setelah itu, Direktur Utama Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Isnu Edhi Wijaya meminta bertemu Winata.

“Pak Munawar dari ITB, dia salah satu tim teknis waktu uji coba (uji petik e-KTP). Jadi, dia kenal sama Pak Isnu. Mungkin Pak Isnu minta tolong beliau kontak saya. Pak Isnu ajak saya bentuk konsorsium. Pak Win, kan you menang, saya juga nomor dua. Jadi, kita bentuk konsorsium. Nanti kita harapkan bisa menang, tapi melalui Pak Andi Agustinus,” ujarnya.

Winata mengaku sempat kaget, mengapa harus melalui Andi Narogong? Ia sendiri tidak mengetahui, siapa sebenarnya Andi Narogong. Ia tidak mengetahui pula seberapa penting peran Andi Narogong, sehingga harus dirangkul dalam proyek e-KTP. Alhasil, Winata menolak permintaan Isnu.

Lantas, ia pun mencoba mengikuti tender proyek e-KTP di Kemendagri tahun 2011 dengan membentuk konsorsium bersama Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri). Akan tetapi, sebelum memasukan penawaran, konsorsiumnya digugurkan panitia pengadaan karena dianggap tidak memenuhi spesifikasi teknis.

Winata merasa aneh, mengapa ia digugurkan begitu saja. Padahal, dalam proyek uji petik e-KTP sebelumnya, ia bisa melakukan pekerjaannya. Lalu, ia mengajukan sanggahan, tetapi ditolak panitia pengadaan. Begitu pula ketika ia mengajukan sanggahan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi. Baca Juga: Gamawan Bersedia Dikutuk Apabila Mengkhianati Bangsa

Tak puas, Winata mengajukan keberatan atas hasil tender e-KTP kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ia mendalilkan adanya dugaan kongkalikong dalam penetapan dua konsorsium pemenang tender proyek e-KTP, Konsorsium PNRI dan Konsorsium Astragraphia.

Panitia pengadaan dianggap sengaja mengatur spesifikasi teknis agar mengarah pada produk tertentu, yaitu produk elektronik (L-1) buatan Amerika Serikat, yang hanya diproduksi 2-3 perusahaan di seluruh dunia. Selain itu, terlihat ada kesalahan tulis yang sama dalam dokumen kedua konsorsium.

Berdasarkan hasil pemeriksaan, sambung Winata, KPPU sependapat dan memutuskan telah terjadi kongkalikong dalam tender proyek e-KTP. Namun, pihak lawan Winata mengajukan keberatan. Putusan KPPU dibatalkan hingga akhirnya putusan tersebut berkekuatan hukum tetap (inkracht). Baca Juga: Kasus Persekongkolan Tender e-KTP Belum Berujung

Antara Andi Narogong dan Setya Novanto
Siapa sebenarnya dan seberapa penting peran Andi Narogong dalam proyek e-KTP masih menjadi tanda tanya? Sebab, bukan hanya Winata, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemendagri periode 2007-2014, Diah Anggraini, Irman, Sugiharto, dan sejumlah anggota DPR pun mengenal Andi Narogong.

Diah yang bersaksi bersamaan dengan Winata mengatakan, ia pertama kali berkenalan dengan Andi Narogong saat acara natal di rumah mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Demokrat, almarhum Ignatius Mulyono. Ia diperkenalkan kepada Andi Narogong oleh anggota Komisi II lainnya, Mustokoweni yang juga sudah meninggal.

Ketika pembahasan proyek e-KTP bergulir di DPR pada 2010, menurut Diah, Irman dan Andi Narogong pernah bertandang ke kantornya. Irman melaporkan hasil pertemuannya dengan Ketua Komisi II DPR kala itu, Burhanuddin Napitupulu alias Burnap (sudah meninggal), yaitu nantinya yang akan membantu mengurus anggaran e-KTP adalah Andi Narogong.

“Tapi, saya tidak tahu detil bagaimana mengawalnya. Setahu saya, sebatas Pak Burnap mengatakan ke Pak Irman, nanti yang akan membantu (Andi Narogong). Jadi, saya tidak tahu realisasinya apa betul atau tidak. (Apa Andi Narogong memang sudah dipersiapkan sejak awal) Tidak tahu,” ujarnya.

Walau mengaku tidak tahu-menahu, Diah mengaku sempat bertemu Andi Narogong beberapa kali. Pertama, dalam acara makan malam di Restauran Peacock, Hotel Sultan, Jakarta. Dalam pertemuan yang juga dihadiri Irman dan Sugiharto, Diah diperkenalkan kepada Johannes Marliem, pemilik perusahaan penyedia produk L-1.

Akan tetapi, Diah tidak mengetahui apakah Johannes dilibatkan dalam pelaksanaan proyek e-KTP. Sebab, ia tidak memantau pelaksanaan proyek e-KTP. Pertemuan kedua berlangsung di Hotel Gran Melia. Pertemuan dihadiri oleh Irman, Sugiharto, dan Ketua Fraksi Golkar saat itu, Setya Novanto.

“Itu jam 6 pagi. Saya berangkat kantor. Jadi, pagi di sana Pak Setya Novanto juga tergesa-gesa karena ada acara lain. Beliau hanya menyampaikan bahwadi Depdagri ada program e-KTP. Ini merupakan program strategis nasional. Ayuk kita jaga bersama-sama. Hanya itu. Lalu pergi beliau,” terangnya.

Diah mengaku tidak mengetahui maksud pertemuan tersebut. Ia juga tidak mengetahui untuk apa Setya Novanto harus pagi-pagi bertemu hanya untuk menyampaikan hal itu. Lagipula, pembahasan teknis proyek e-KTP bukan kewenangan Diah selaku Sekretaris Jenderal, melainkan Irman.

Kendati demikian, itu bukan terakhir kali Diah bertemu Andi Narogong. Ia menjelaskan, sekitar 2013, jelang akhir masa jabatannya sebagai Sekretaris Jenderal Kemendagri, Irman pernah menghubunginya dan membahas pembagian jatah uang 3-3-1. Lalu, Irman mengutus orang untuk memberikan AS$300 ribu kepada Diah.

Diah menerima uang AS$300 ribu tanpa mempertanyakan asal-usul uang itu kepada Irman. Ia berpikir, Irman sedang mendapatkan rezeki, sehingga bermurah hati memberikan uang kepadanya. Tak berapa lama, datang Andi Narogong yang juga memberikan uang sejumlah AS$200 ribu kepadanya.

Menurut Diah, Andi Narogong menyatakan uang itu merupakan hasil usahanya. Diah mengaku awalnya ia sudah menolak, tetapi Andi Narogong tetap meninggalkan uang di mejanya. Diah menegaskan, ia tidak mengetahui jika uang yang diberikan Irman dan Andi Narogong adalah uang proyek e-KTP.

“Dua hari setelah itu, saya hubungi Pak Irman yang kebetulan ada di (Jalan) Merdeka Utara, di ruang tunggu, ruang makan kami. Di situ, saya katakan, Pak irman kok banyak sekali, dari Pak Irman ada, dari Andi ada. Saya mau kembalikan uang ini. Saya minta tolong mengembalikan lewat Pak Irman,” katanya.

Namun, sambung Diah, Irman mengeluarkan kalimat, “Jangan dikembalikan Bu. Kalau ibu mengembalikan, berarti ibu bunuh diri.” Kata-kata Irman itu membuat Diah tertekan, sampai-sampai ia tidak berani bercerita dengan keluarganya. Hingga akhirnya, ia menyimpan uang itu sampai ada pemeriksaan di KPK.

Diah mengembalikan uang yang diberikan Irman dan Andi Narogong ke KPK. Sesuai pengakuan Diah, uang itu sama sekali tidak pernah dipergunakan dan baru dikembalikan setahun setelah pemberian. “Saya ditanya, sampai ditembak mati pun, saya tidak akan mengatakan kalau saya terima uang itu,” tuturnya.

Di lain pihak, mantan Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap memiliki versinya sendiri mengenai Andi Narogong. Ia mengaku, pertama kali diperkenalkan kepada Andi Narogong saat sedang menemui Setya Novanto di ruang rapat. Ia menganggap perkenalan itu sebagai perkenalan biasa. Dahulu, ia pun tidak mengetahui apa profesi Andi Narogong.

Chairuman menerangkan, Andi Narogong memang sering lalu-lalang di DPR. Kadang, ia berpapasan dengan Andi Narogong di Gedung DPR. Andi Narogong pernah datang ke kantornya menawarkan macam-macam, seperti kaus untuk kampanye, tetapi tidak pernah membicarakan soal proyek e-KTP.

Mengenai sejauh mana kedekatan antara Andi Narogong dengan Setya Novanto, Chairuman menegaskan tidak mengetahui. Ia hanya pernah mendengar cerita orang-orang jika Andi Narogong dekat dengan Setya Novanto. Selain itu, ia mendengar Andi Narogong sering mengurus proyek-proyek di DPR, meski tidak mengetahuinya secara pasti.

“Saya bilang dengar, saya tidak tahu. Apa saja proyek dia, tapi dengar kan. Yang ditanyakan penyidik kan begitu. Jadi, saya bilang saya tidak tahu (proyek apa saja). Apa yang saya tahu, ya dia ngurus-ngurus proyek di situ. Cuma yang saya tahu pasti, yang saya bilang tadi, ngurus-ngurus olahraga, baju-baju untuk kampanye, pengusaha begitu,” tandasnya.

Sebagaimana isi surat dakwaan, penuntut umum menyebutkan bahwa Irman dan Sugiharto melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama Setya Novanto, Diah Anggraini, Drajat Wisnu Setyawan (Ketua Panitia Pengadaan), Andi Narogong (penyedia barang/jasa Kemendagri), dan Isnu Edhi Wijaya (Ketua Konsorsium PNRI).

Penuntut umum menganggap kedua terdakwa bersama-sama sejumlah pihak itu telah melakukan tindak pidana korupsi dalam proses penganggaran dan pelaksanaan proyek e-KTP dengan mengarahkan untuk memenangkan perusahaan tertentu sebagai penyedia barang/jasa proyek e-KTP (Baca Juga: Mengungkap Nama-Nama Besar dan Sepak Terjang Dua Terdakwa Korupsi e-KTP).

Perbuatan tersebut telah memperkaya para terdakwa, Gamawan Fauzi, Diah, Drajat beserta 6 orang anggota Panitia Pengadaan, Husni Fahmi beserta 5 orang anggota Tim Teknis, Johannes Marliem, Anas Urbaningrum, Marzuki Ali, Olly Dondokambey, Melchias Marchus Mekeng, Mirwan Amir, dan Tamsil Linrung, Taufik Effendi, dan Teguh Djuwarno.

Kemudian, memperkaya Chairuman Harahap, Ganjar Pranowo, Arief Wibowo, Mustoko Weni, Rindoko, Jazuli Juwaeni, Agun Gunandjar Sudarsa, Ignatius Mulyono, Miryam S Haryani, Nu'man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramaen, Jamal Aziz, Markus Nari, Yasonna H Laoly, dan 37 anggota Komisi II DPR lainnya.

Serta, memperkaya pula sejumlah korporasi pemenang tender e-KTP, yakni Perusahaan Umum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), PT LEN Industi, PT Quadra Solution, PT Sandipala Arthaputra, PT Sucofindo, Manajemen Bersama Konsorsium PNRI. Akibatnya, kerugian keuangan negara mencapai Rp2,314 triliun.
Tags:

Berita Terkait