Sosok Sang Begawan di Mata Kolega
Jejak dan Pemikiran J. Satrio:

Sosok Sang Begawan di Mata Kolega

Memiliki pemikiran yang luar biasa dan fokus.

Oleh:
Fathan Qorib/NEE
Bacaan 2 Menit
J. Satrio. Foto: FEB
J. Satrio. Foto: FEB
"Anda belum bisa disebut ilmuwan, jika organisasi otaknya belum teratur,” kelakar J. Satrio kepada Hukumonline saat memberikan pandangannya terhadap dunia akademisi belakangan ini.

Hal ini diutarakan Satrio bukan tanpa sebab. Menurutnya, cara transfer knowledge dari guru/dosen kepada muridnya akhir-akhir ini terlalu monoton, sehingga sang murid tidak bisa mengemukakan dengan baik pandangannya terhadap permasalahan yang muncul. Ia ingat betul ketika masih di bangku Sekolah Dasar (SD) di Purwokerto, puluhan tahun silam.

Kala itu, ia diajarkan untuk bisa mengemukakan jawaban dengan bahasa terkait pertanyaan berhitung. Misalnya, ibu ke pasar bawa uang 25 sen, membeli ayam 10 sen, jadi sisa uang itu adalah 15 sen. Seluruhnya wajib dikemukakan dengan bahasa berikut dengan kesimpulannya, bukan hanya pilihan ganda saja. Rangkaian jawaban melalui bahasa tersebut merupakan organisasi otak, yang dirasa dirinya sudah luntur dewasa ini.

Ingatan Satrio ketika pada saat masuk kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) tahun 1955, tertuju pada seorang Guru Besar bernama Prof. Slamet Iman Santoso, pendiri Fakultas Psikologi UI. Saat itu, Prof. Slamet kerap mengajar mata kuliah Psikiatri Kehakiman.

“Beliau pernah mengucapkan kata-kata yang dulu saya tidak mengerti, tapi terkesan. Orang yang belum bisa berbahasa dengan teratur, bukan ilmuwan,” tiru Satrio dari kata-kata yang diucapkan Prof. Slamet.

Satrio berpikir keras atas ucapan Prof. Slamet tersebut. Belakangan ia sadar bahwa yang dimaksud Prof. Slamet adalah orang yang mengemukakan pendapatnya secara teratur, maka organisasi otaknya teratur, sehingga kata-kata yang keluar juga teratur dan sistematis. Sebaliknya, jika belum bisa mengutarkan kata-kata secara teratur, maka belum bisa disebut sebagai ilmuwan.

(Baca Juga: Cerita tentang Seorang Begawan Hukum Perdata)

Agar kata-kata yang keluar bisa teratur sehingga organisasi otak pun turut teratur, Satrio menambahkan, ada cara yang bisa dilakukan. Caranya ada pada sosok yang mengajar dan kaya akan literatur. Ia ingat betul, saat SD yang mengajar adalah Kepala Sekolah dengan cara menjawab pertanyaan berhitung melalui rangkaian bahasa.

Saat ia kuliah, sosok yang mengajar lebih meningkat lagi. Dari para dosen dan guru besar yang mengajar, sebagian di antaranya adalah guru besar berkewarganegaraan Belanda. Sebagian lagi guru besar asli pribumi. Bahkan guru besar pribumi ini juga para lulusan dari sekolah Belanda, sehingga terkadang penggunaan bahasa Belanda pada mata kuliah sehari-hari menjadi hal bisa.

Jelas hal tersebut menambah pemahaman dan bekal bahasa Belanda para mahasiswa mendalami ilmu yang dipelajari. Referensi-referensi hukum berbahasa Belanda juga kerap menjadi pegangan mahasiswa saat itu. Salah satunya adalah seri Asser bagi yang mengambil hukum perdata.

Ia berharap, dosen sekarang mengajarkan mahasiswanya tidak dengan cara indoktrinisasi. Menurut Satrio, mahasiswa harus diberi peluang untuk berpendapat lain jika ada permasalahan hukum yang diangkat. “Saya punya dosen dulu yang mengatakan, seorang murid harus lebih pinar dari gurunya. Kalau tidak, ilmu mati, berhenti,” katanya.

Untuk itu, pandangan kritis dari mahasiswa harus tetap ada. Bahkan diperbolehkan bertentangan dengan gurunya berikut argumentasi yang mendasar. Diskusi hidup seperti yang membuat ilmu tetap ada. “Ilmu pengetahuan baru maju kalau muridnya lebih pintar daripada gurunya,” tutur Satrio.

Sosok Luar Biasa
Mengenal dan bahkan pernah diajarkan oleh J. Satrio menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi tiap orang. Tak terkecuali Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Prof. Ade Maman S. Ia melihat, Satrio merupakan sosok yang luar biasa.

“Beliau bukan hanya teoritis ngajar di kampus tapi juga berpraktik sebagai notaris. Beliau juga komit pada dunia akademisi, terbukti beliau membuat buku-buku bermutu sedemikian banyak. Bukunya juga agak klasik dalam artian rujukan-rujukannya lebih asli ke Belanda,” tuturnya kepada Hukumonline, di kampus Unsoed, Selasa (15/8).

Selain itu, lanjut Ade, fokus keilmuwan yang tetap dijaga dari awal hingga sekarang juga menjadi nilai plus sosok Satrio. Ia bertutur saat masuk FH Unsoed pada tahun 1986, Ade sempat diajarkan Satrio di berbagai mata kuliah, mulai dari Hukum Perdata I, Hukum Perdata II hingga Hukum Perikatan.

Sebagai pribadi, Satrio memiliki sosok yang sederhana, rendah hati dan senang berdiskusi. Bahkan, tak jarang hasil diskusinya melahirkan buku. Salah satu buku yang pernah dibuat antara Prof. Ade dengan Satrio adalah “Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasarkan Umur)”.

“Itu buku dari hasil penelitian, lalu dibukukan NLRP. Yang ngajak saya Pak Ferdinand dan Pak Wasis Dekan FH Esa Unggul. Di situlah kami bekerja sama dengan Pak Satrio,” tuturnya.

Untuk menghormati sosok Satrio, ia sempat berpikiran membuat semacam award tribute J. Satrio. Penghargaan tersebut seperti moot court di bidang keperdataan. Menurutnya, penamaan J. Satrio Award lantaran nama besarnya yang sudah dikenal luas. Hingga kini, ide tersebut belum terealisasikan.

“Itu kan bisa jadi maskot atau icon-nya kita. Di Unsoed Purwokerto itu bisalah kita angkat. Tapi ini baru ide, saya baru menjabat Dekan satu bulan,” katanya.

Hukumonline.com
Prof. Ade Maman S (Dekan FH Unsoed). Foto: FEB

Berawal dari Buku
Ibrahim Senen, of Counsel AYMP Atelier of Law -dulu DNC Advocates at Work-, ingat betul alasan AYMP menawarkan Satrio untuk menjadi salah satu konsultannya sekira tahun 1999 silam. Pertemuan antara AYMP dengan Satrio terjadi berawal dari buku yang terbit di tangan pria kelahiran Purwokerto, 23 Juni 1936 itu.

Pencarian pun dimulai. Setelah bertemu Satrio, AYMP terus berinteraksi dan menawarkan untuk bergabung sebagai konselor dan pemberi pelatihan pendidikan bagi advokat AYMP. Ibrahim melihat Satrio merupakan penulis buku hukum perdata dasar yang paling baik di Indonesia. “Kalau saya secara pribadi, saya bilang seperti BW (Burgerlijk Wetboek) berjalan ya,” katanya.

Keberadaan Satrio di AYMP pun tak disia-siakan. Diskusi dan konsultasi mengenai permasalahan hukum terus dilakukan AYMP bersama pria berusia 81 tahun itu. Selain memiliki pengetahuan yang luas di bidang hukum perdata, kemahiran Satrio berbahasa Belanda juga menjadi alasan lain bagi AYMP menawarkan untuk bergabung.

Gayung pun bersambut. Satrio menyukai dengan pertanyaan-pertanyaan mendalam yang diajukan AYMP. Akhirnya, diskusi antara Sang Begawan dengan AYMP menjadi keniscayaan. “Dia (Satrio) suka karena kita punya pertanyaan-pertanyaan yang bukan hanya dalam tataran kulit, bukan hanya dalam tataran yang sangat dangkal, sehingga dia harus berpikir, nah itu jadi tempat kita brainstorming,” tuturnya.

Keberadaan Satrio di AYMP pun sangat signifikan. Bahkan, Ibrahim mengatakan, AYMP berkembang pesat seperti sekarang ini juga karena adanya sosok Satrio. Kemampuan Sang Begawan membaca undang-undang hingga mendiskusikan permasalahan hukum yang terjadi, menjadi ilmu baru yang diserap tim AYMP.

Di mata Ibrahim, meski memiliki pengetahuan yang luas, tapi Satrio tetap rendah hati. Bahkan, setiap diskusi, Satrio dengan sabar mau mendengarkan argumentasi yang diajukan para lawyer AYMP. Namun, karena usia yang sudah lanjut, diskusi dahulu yang bisa dilakukan di Jakarta atau Purwokerto, kini harus melalui video conference.

Bahkan, ada jadwal khusus bagi Satrio untuk men-training lawyer di AYMP melalui video conference sebulan dua kali. Walau Satrio tak lagi muda, kata Ibrahim, untuk orang berusia 81 tahun, memiliki kebiasaan yang unik. Di usia tersebut biasanya banyak pantangan makanannya. Namun tidak bagi Satrio, sate kambing pun masih disantapnya.

“Ini menunjukkan yang baik saat orang masih melatih daya pikirnya, mempengaruhi kesehatan yang lebih baik,” kata Ibrahim.

(Baca Juga: Tetap Menulis Hingga Garis Finish)

Keunikan lainnya, lanjut Ibrahim, Satrio bukan tipikal pemarah. Setiap diskusi, meski lawan diskusinya salah, Satrio hanya melemparkan senyum. Hal ini menunjukkan Satrio memiliki sikap yang rendah hati. Bahkan semangat Satrio dalam menulis buku di usia senja, semakin membuat kagum Ibrahim.

“Saya sampaikan ke beliau kalau Belanda punya seri Asser untuk hukum perdata, saya berharap buku-buku Bapak bisa disebut seri Satrio yang wajib dibaca bagi mahasiswa-mahasiswa Fakultas Hukum yang ingin mempelajari hukum perdata,” tambahnya.

Terpelajar
Dosen hukum perdata FHUI, Yu Un Oppusunggu, mengenal Satrio sejak belasan tahun silam. Namun untuk tahu nama dan karyanya, Yu Un mulai kenal pada saat awal menjadi mahasiswa di FHUI, sekira tahun 1996 silam. Melalui buku juga ia mengagumi sosok Satrio. “Beliau (Satrio) kalau mengungkapkan sesuatu atau menyatakan sesuatu, dia dukung dengan argumentasi yang meyakinkan,” tutur Yu Un.

Saat Yu Un masih bekerja di Indofood Sukses Makmur Tbk, Division Bogasari Flour Mills, dirinya juga menjadi dosen di FHUI. Kala itu, ia mendengar dari salah satu rekannya di kantor bahwa Satrio akan datang ke perusahaan memberikan training untuk berdiskusi mengenai hukum perdata. Kabar ini membuat dirinya senang, bahkan program training sengaja menjadi agenda rutin bulanan.

Biasanya, Satrio yang datang dari kediamannya di Purwokerto ke Jakarta, dan menetap selama seminggu. “Dalam seminggu itu kita harus berebut untuk bisa mendapatkan Pak Satrio punya jadwal (training). Tetapi karena kami kemudian sudah kenal, berkali-kali, jadi kami mendapatkan prioritas dari beliau,” katanya.

Sebelum Satrio tiba di Jakarta, Yu Un biasanya telah membuat janji terlebih dahulu. Biasanya, Satrio pulang pergi dari Purwokerto-Jakarta menggunakan kereta api. Satrio pun menginap di hotel tak jauh dari stasiun kereta. Yu Un mendatangi hotel tempat Satrio menginap. Cara ini ampuh membuat Yu Un dan rekan-rekan memperoleh prioritas training dari pria yang memiliki 9 cucu itu. Bahkan, Satrio memberikan training khusus ke perusahaan Yu Un bekerja.

“Beliau orang yang cermat dan sangat menghargai lawan bicara. Terlepas usia kita berapa, beliau memanggil orang dengan “Anda” atau “Saudara”. Jadi, ada egaliter di situ dan beliau orang terpelajar,” kenang Yu Un.

Selain itu, dari segi waktu Satrio selalu tepat waktu jika ada janji. Berpenampilan rapih, bertutur kata baik, ramah, berdisiplin dan memiliki intelektualitas tinggi serta kaya akan literatur. Satrio juga memiliki ciri sebagai orang terpelajar. Hal ini terlihat ketika tak yakin pada sesuatu, akan mengatakan bahwa dirinya tidak tahu. Satrio khawatir kalau memberikan penjelasan yang tak diketahuinya malah akan menyesatkan.

“Itu ciri orang terpelajar, dia sangat cermat dan hati-hati. Beliau akan menyatakan ‘ini di luar kemampuan saya, di luar saya punya keahlian’,” tiru Yu Un mengenang ucapan Satrio.

(Baca Juga: Hukumonline Menampilkan Serial Tulisan J. Satrio)

Hal lain yang diapresiasi Yu Un untuk sosok Satrio adalah selalu ingin belajar meski usianya sudah lanjut. Ini semata-mata untuk mempertajam pemahamannya di bidang hukum. Selain itu, Satrio juga akan terus berkarya meski terdapat keterbatasan, seperti kesehatan. “Jadi itu intellectual exercise-nya itu sangat bagus. Dia tidak pelit ilmu, tetapi dia juga tidak malu mengakui bahwa dia baru belajar dari kita,” tuturnya.
Tags:

Berita Terkait