Hikmahanto: ASEAN Bisa Embargo Ekonomi terhadap Myanmar
Berita

Hikmahanto: ASEAN Bisa Embargo Ekonomi terhadap Myanmar

Forum Rektor Indonesia mendesak Komisi Hak Asasi Manusia PBB menginvestigasi pelanggaran HAM di Myanmar dan melakukan pengadilan internasional atas tindakan militer Myanmar yang melakukan pembantaian terhadap Muslim Rohingya.

Agus Sahbani/ANT
Bacaan 2 Menit
Sejumlah massa yang tergabung dalam Sahabat Muslim Rohingya melakukan aksi di Kedubes Myanmar, Jakarta, Senin (4/9). Dalam aksinya pengunjuk rasa menuntut pemerintah mengusir Dubes Myanmar dari Indonesia menyusul tragedi kemanusiaan etnis Rohingya. Foto: RES
Sejumlah massa yang tergabung dalam Sahabat Muslim Rohingya melakukan aksi di Kedubes Myanmar, Jakarta, Senin (4/9). Dalam aksinya pengunjuk rasa menuntut pemerintah mengusir Dubes Myanmar dari Indonesia menyusul tragedi kemanusiaan etnis Rohingya. Foto: RES
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana berpendapat sanksi ekonomi hingga penggunaan kekerasan (use of force) dapat dijatuhkan kepada Myanmar untuk menyelamatkan etnis Rohingya. Hal ini sesuai prinsip atau konsep yang berlaku dalam hukum internasional yakni Responsibility to Act (R2P).

"Bentuk tindakan R2P bisa berupa sanksi ekonomi hingga penggunaan kekerasan (use of force). Dalam konteks ini ASEAN dapat melaksanakan R2P untuk menyelamatkan etnis Rohingya," ujarnya di Jakarta, Senin (4/8/2017).

Dia menjelaskan R2P adalah suatu tindakan masyarakat internasional yang tidak mengenal batas wilayah kedaulatan untuk memastikan agar kejahatan terhadap kemanusiaan seperti ethnic cleansing atau genosida tidak terjadi.

Seperti diketahui, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi hari ini dijadwalkan bertemu dengan Presiden Myanmar Aung San Suu Kyi. Dalam pertemuan tersebut Menlu diharapkan dapat meminta agar kekerasan yang dilakukan oleh otoritas Myanmar terhadap etnis Rohingya dihentikan.

"Menlu perlu mengingatkan apa yang terjadi terhadap etnis Rohingya bisa masuk dalam kategori genosida," kata dia.

Hal itu telah banyak disampaikan oleh pejabat berbagai negara. Bila kekerasan tidak juga dihentikan, maka masyarakat internasional dapat bertindak atas Myanmar berdasarkan konsep yang dikenal dalam hukum internasional itu.

Selain itu, ia menegaskan ASEAN memiliki kewajiban karena ini (penjatuhan sanksi ekonomi) masalah regional. ASEAN harus memiliki makna atas adanya tindakan pemerintah negara anggotanya yang melakukan ethnic cleansing.

"Jangan sampai ASEAN gagal dalam menjalankan kewajiban internasionalnya. Bahkan, mendiamkan atau membiarkan suatu kejahatan internasional," kata dia.

Karena itu, setelah pertemuan dengan Aung Sang Suu Kyi, Pemerintah Indonesia dapat memanggil sidang darurat untuk mengambil langkah-langkah yang tepat bagi ASEAN terhadap Myanmar.

"Bila ethnic cleasing masih terus terjadi, ASEAN dapat melakukan embargo ekonomi terhadap Myanmar. Diharapkan tindakan ASEAN ini akan didukung dan diikuti oleh negara-negara lain di dunia," harap Hikmahanto.

Dorong pengadilan internasional
Terpisah, Forum Rektor Indonesia (FRI) mendesak Komisi Hak Asasi Manusia PBB menginvestigasi pelanggaran HAM di Myanmar serta melakukan pengadilan internasional atas tindakan militer Myanmar yang melakukan pembantaian terhadap Muslim Rohingya.

"Komisi HAM PBB perlu melakukan pengadilan internasional terhadap pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi atas tindakan militernya tersebut, karena ini jelas bertentangan dengan kemanusiaan," kata Ketua FRI Prof Suyatno dalam siaran pers di Jakarta, Senin. Baca Juga: Parlemen Desak Adili Kejahatan Genosida Myanmar di Mahkamah Internasional

Dia menilai tindakan Militer Myanmar mengusir dan membunuh Etnis Rohingya secara keji yang berlanjut hingga kini dan tetap didiamkan oleh pemerintah Myanmar merupakan upaya genosida etnis Rohingya.

Menurut Rektor Universitas Muhammadiyah (Uhamka) Prof Dr Hamka Jakarta ini tindakan keji ini sangat bertentangan dengan HAM dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Karena itu, pihaknya mengutuk keras militer Myanmar dan meminta Pemerintah Myanmar untuk menghentikan genosida terhadap etnis bangsanya tersebut. “Pihaknya mendesak agar mencabut kembali penghargaan Nobel Perdamaian yang disematkan kepada Aung San Suu Kyi karena yang bersangkutan terbukti tidak ada niat dan upaya menciptakan perdamaian di Myanmar yang dipimpinnya sendiri.”

FRI juga meminta Pemerintah Myanmar, negara-negara ASEAN dan PBB melindungi etnis Rohingya secara maksimal. Pihaknya juga mendesak negara-negara anggota ASEAN untuk bertindak tegas dengan mengeluarkan keanggotaan Myanmar jika terus melakukan upaya genosida Etnis Rohingya.

Tak hanya itu, FRI mendesak Pemerintah RI mengevaluasi semua bentuk kerja sama dengan pemerintah Myanmar dan mengajak organisasi negara-negara Islam bersikap tegas terhadap Pemerintah Myanmar dan melindungi serta menyelamatkan Etnis Rohingya yang dibunuh secara biadab.

Seperti diketahui, Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB telah menunjuk Marzuki Darusman sebagai ketua tim pencari fakta untuk menyelidiki tuduhan pelanggaran HAM oleh pasukan keamanan Myanmar pada 27 Juli lalu. Tim ini sebelumnya diketuai oleh Advokat Mahkamah Agung India Indira Jaising. Mantan Jaksa Agung Indonesia ini bergabung dengan dua anggota tim lainnya, yaitu Radhika Coomaraswamy, seorang pengacara lulusan Harvard asal Sri Lanka dan konsultan Australia Christopher Dominic Sidoti.

Tim ini fokus di negara bagian Rakhine yang merupakan rumah bagi minoritas Muslim Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan. Tim pencari fakta ini akan bekerja secara independen dan obyektif, yang akan didukung oleh tim spesialis HAM PBB dari Jenewa. Mereka bekerja sesuai mandat yang ditetapkan Dewan HAM PBB dalam resolusi 34/22, yang diadopsi pada 24 Maret 2017.
Tags:

Berita Terkait