Ini 8 Insentif Tambahan untuk Investasi Hulu Migas
Berita

Ini 8 Insentif Tambahan untuk Investasi Hulu Migas

Diatur dalam Permen ESDM No. 52 Tahun 2017. Investasi pada sektor migas erat kaitannya dengan persoalan iklim bisnis, kepastian hukum, dan persyaratan fiskal yang kompetitif.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Foto: DAN
Foto: DAN
Setelah mendengar masukan dari berbagai pihak, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan revisi terhadap Peraturan Menteri ESDM No. 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split menjadi Permen No.52 Tahun 2017 yang diteken oleh Menteri ESDM, Igansius Jonan, akhir Agustus lalu.

"Kita sudah mendengar banyak masukan. Tim kita bentuk ulang. Masukan mana yang reasonable untuk ditindaklanjuti, muncullah beberapa model. Model tersebut banyak masukan baik dari IPA (Indonesian Petroleum Association), termasuk World Bank, juga dari beberapa konsultan lainnya," ujar Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar, Jumat (8/9), di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta.

Terdapat 8 substansi penting yang diatur dalam ketentuan Permen No.52 Tahun 2017, antara lain komponen progresif kumulatif produksi migas; komponen progresif harga minyak; komponen progresif harga gas bumi; komponen variabel status lapangan; komponen variabel tahapan produksi; komponen variabel kandungan hidrogen-sufrida (H2S); komponen variabel ketersediaan infrastruktur; dan diskresi pemerintah.

Pertama, ketentuan pasal 6 (ayat 4 dan 4a) mengatur bagi hasil komponen progresif yaitu dari produksi migas. Dalam pemaparannya, Archandra mengatakan jika produksi migas secara kumulatif di bawah 30 Million Barrels of Oil Equivalent (MMBOE), kontraktor akan mendapat bagi hasil (split) 10%. Hal ini berbeda dengan ketentuan Permen ESDM No. 8 Tahun 2017, apabila produksi migas kurang dari 1 MMBOE, kontraktor hanya mendapat tambahan split 5%. (Baca Juga: Ini Poin Penting Revisi Permen ESDM Gross Split yang Wajib Diketahui KKKS)

Kedua, terkait pemberian insentif untuk pengembangan lapangan kedua dan pemberian insentif lebih tinggi apabila lapangan tidak mencapai keekonomian tertentu. Arcandra menjelaskan latar belakang munculnya poin ini. "Ada masukan dari beberapa pihak, Pemerintah tidak memberikan insentif eksplorasi lebih satu blok. Untuk revisi yang baru kami beri 3%," terang Arcandra.

Melalui Permen baru ini, Pemerintah menstimulus para kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas melalui pemberian insentif tambahan split sebesar 3% jika KKKS melakukan pengembangan lapangan migas yang kedua dalam blok migas yang sama (Plan of Development/POD II).

Pada Permen sebelumnya, tambahan split sebesar 5% hanya untuk pengembangan lapangan pertama (POD I), sedangkan POD II tidak diberikan. Dengan demikian, KKKS akan termotivasi untuk melakukan pencarian cadangan migas tambahan dalam blok migas yang telah berproduksi dari lapangan migas pertama.

Ketiga, penyesuaian split yang diakibatkan komponen progresif harga minyak dan gas bumi yang tercantum pada pasal 9. Menurut Arcandra, pada harga minyak, penyesuaian split kontraktor didasarkan pada formula (85-ICP) x 0,25%, dengan contoh perhitungan apabila harga minyak dibawah US$40 penyesuaian split kontraktor menjadi 11,25%, di Permen sebelumnya hanya 7,5%. (Baca Juga: Ini Poin Penting dalam Revisi PP Gross Split)

"Jika kita lihat model (Permen ESDM No.8/2017), ada intermiten antara split dengan harga minyak," ujarnya.

Keempat, adanya tambahan komponen progresif harga gas yang belum diatur pada Permen sebelumnya. Formula yang ditetapkan untuk harga gas dibawah US$7/mmbtu (million british thermal unit), maka penyesuaian split ke kontraktor adalah (7-harga gas) x 2,5%, sedangkan untuk harga gas diatas 10 US$/mmbtu maka penyesuaian split ke kontraktor adalah (10-harga gas) x 2,5%.

Arcandra mencontohkan, untuk harga gas US$5/mmbtu, maka kontraktor akan mendapatkan split 5%, sedangkan apabila US$6/mmbtu maka split ke kontraktor hanya sebesar 2,5%. Penyesuaian split tersebut dilaksanakan setiap bulan berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh SKK Migas.

Kelima, komponen variabel fase produksi. Pada Permen ini, besaran split pada tahapan produksi sekunder sebesar 6%, sebelumnya hanya 3%. "Ada beberapa masukan bahwa tambahan split untuk fase secondary recovery itu tidak cukup, untuk mengakomodir itu kita tingkatkan menjadi 6%," lanjut Wamen.

Kemudian, pada tahap tersier, besaran split mencapai 10% dari sebelumnya hanya 5%. Pada tahap ini produksi minyak menggunakan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR). (Baca Juga: Gross Split, Langkah Luar Biasa Pemerintah Dongkrak Produksi Migas)

Keenam, terdapat perubahan pada komponen variabel kandungan hidrogen-sufrida (H2S).  Apabila suatu lapangan migas terdapat kandungan H2s yang tinggi, maka akan diberikan tambahan split. Arcandran mencontohkan misal, untuk lapangan migas yang memiliki kandungan H2S di bawah 100 part per million (ppm), maka kontraktor tidak mendapatkan split, sedangkan apabila kandungan H2Snya melebihi 4000 ppm kontraktor mendapatkan split sebesar 5%.

"Dulu ppm lebih dari 500 hanya 1%, tapi setelah melihat rata-rata H2H di Indonesia sekitar 3000 dan 4000, sekarang kita memberi split antara 0% hingga 5% jikaH2S di atas 4000. Kita percaya itu cukup mengcover biaya karena H2S," tambah Arcandra.

Ketujuh, perubahan tambahan split untuk wilayah kerja yang sama sekali belum tersedia infrastruktur penunjang Minyak dan Gas Bumi (new frontier), dibagi menjadi lokasi new frontier offshore mendapatkan split 2% sedangkan untuk new frontier onshore sebesar 4%. Sebelumnya tidak ada pembedaan onshore dan offshore.

"Di Amerika, new frontier offshore lebih mahal dari pada new frontier onshore. Tapi ini tidak terjadi di Indonesia. New frontier onshore lebih mahal daripada new frontier offshore", lanjut Arcandra.

Delapan, dari revisi Permen Nomor 52 Tahun 2017 adalah mengenai diskresi Menteri ESDM yang dapat memberikan tambahan atau pengurangan split yang didasarkan pada aspek komersialitas lapangan. Pada aturan sebelumnya, Menteri ESDM hanya dapat memberikan tambahan split maksimal 5%.

"Ada beberapa masukan. Setelah apa saja yang telah kami beri, termasuk insentif. Apa yang kita lakukan adalah tidak membatasi diskresi supaya lapangan dikembangkan lebih ekonomis," pungkas Arcandra.

Respons Pelaku Usaha
Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA), Christina Verchere, menyampaikan apresasinya terhadap keputusan Pemerintah yang telah merubah skema gross split tersebut. "IPA telah melihat perubahan positif dengan Permen ESDM No.52 Tahun 2017 yang merevisi ketentuan gross split sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing industri migas Indonesia," ujarnya dlam kesempatan yang sama.

Menurut Christina, investasi pada sektor migas erat kaitannya dengan persoalan iklim bisnis, kepastian hukum, dan persyaratan fiskal yang kompetitif. Hal ini bisa dilihat dari adanya penurunan modal yang signifikan terhadap perusahaan-perusahaan migas di seluruh dunia.

Kondisi tersebut, membuat investor lebih selektif dalam memasukkan dananya ke dalam proyek-proyek yang memiliki tingkat pengembalian yang kompetitif. Sementara, terkait dengan ketentuan fiskal atau jenis kontrak kerja sama, dia menyatakan di lapangan memiliki kondisi yang tak sama.

Selain itu, menurut Christina, terdapat sejumlah hal dalam Permen ESDM No.52 Tahun 2017 yang membuat regulasi ini menjadi lebih baik. Seperti kenaikan persentase untuk beberapa variabel dan penambahan variabel baru seperti ini harga gas. "kami juga senang bahwa opsi tipe kontrak untuk PSC perpanjangan masih dipertahankan dalam revisi ini," pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait