Ahli Perkuat Argumentasi KPK dalam Sidang Praperadilan
Berita

Ahli Perkuat Argumentasi KPK dalam Sidang Praperadilan

KPK siapkan langkah antisipatif jika kalah dalam praperadilan?

Oleh:
CR-24
Bacaan 2 Menit
Hakim Cepi Iskandar memimpin sidang praperadilan yang diajukan Ketua DPR Setya Novanto. Foto: RES
Hakim Cepi Iskandar memimpin sidang praperadilan yang diajukan Ketua DPR Setya Novanto. Foto: RES
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  menghadirkan mantan jaksa, Adnan Paslyadja, sebagai ahli dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (27/9). KPK menghadirkan ahli untuk memperkuat argumentasi sebagai termohon atas praperadilan yang diajukan Ketua DPR Setya Novanto.

Berdasarkan pemantauan Hukumonline selama persidangan, secara keseluruhan, apa yang disampaikan Adnan mendukung jawaban KPK atas gugatan yang disampaikan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto.

Salah satunya mengenai proses penetapan seseorang sebagai tersangka kasus korupsi di KPK.  Adnan merujuk pada Pasal 1 angka 14 KUHAP  yaitu tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Menurut Adnan, jika ada bukti permulaan maka seseorang bisa ditetapkan sebagai tersangka meskipun masih dalam proses penyelidikan.

(Baca juga: Masalah Penulisan ‘Dkk’ dalam Sprindik Pun Dipersoalkan).

Pendapat Adnan juga sejalan dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK mengenai definisi bukti permulaan yang cukup. Dalam pasal itu disebutkan bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik. "Maka di putusan MK Nomor 21 Tahun 2014 bukti permulaan yang cukup itu sekurang-kurangnya dua alat bukti permulaan," kata Adnan.

Adnan menjelaskan dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP telah mendefinisikan penyidikan sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. "Penyidikan di Pasal 1 angka 2 KUHAP itu mencari dan mengumpulkan bukti, jadi bukan lagi bukti permulaan," pungkasnya.

Adnan juga berpendapat mengenai pemberhentian sementara penyidik, penyelidik atau penuntut umum dari instansi yang bersangkutan sebenarnya tidak perlu menunggu keputusan pimpinan instansi asal.  Sebab ketika ia telah diangkat sebagai pegawai KPK maka secara otomatis dalam melakukan tugas maka bertindak dan mengatasnamakan KPK. “Pasal 45 UU KPK, penyidik dan penyelidik diangkat dan diberhentikan KPK,” imbuh Adnan. Oleh sebab itu, maka proses penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan yang dilakukan dianggap sah menurut hukum. 

(Baca juga: Pengacara Setnov Ajukan LHP BPK Sebagai ‘Amunisi’ Praperadilan).

KPK diketahui telah mencegah Novanto bepergian keluar negeri semenjak Ketua DPR itu menjadi saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP. Tim kuasa hukum Novanto beranggapan perbuatan tersebut sewenang-wenang karena kliennya dianggap tidak mempunyai keterlibatan langsung dalm perkara tersebut serta tidak melihat jabatannya sebagai Ketua DPR.

Adnan berpendapat Pasal 12 huruf b UU KPK telah menyatakan dalam melakukan proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK bisa memerintahkan instansi terkait dalam hal ini Ditjen Imigrasi untuk mencegah seseorang ke luar negeri. “Tidak dibedakan di pasal itu apa sedang penyidilikan, penyidikan atau penuntutan, maka bisa dilakukan,” terangnya.

Salah satu pengacara Novanto, Ketut Mulya Arsana menanyakan kepada Adnan perihal pasal 55 KUH Pidana terkait penyertaan. “Ada satu perkara si A,  di dakwaan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor dan pasal 55 kaitkan orang lain. Si C diperiksa dalam perkara itu, di putusan perkara tidak ada namanya C. Di posisi begitu, C ikut serta tidak?” tanya Ketut.

Adnan menjelaskan alat bukti yang digunakan untuk menjerat seseorang tidak bisa digunakan kepada orang lain. Tetapi, jika dalam proses penyelidikan ditemukan adanya alat bukti lain yang mengarah pada perbuatan pidana pihak lainnya, maka ia bisa saja diproses secara hukum dan KPK bisa menetapkan tersangka baru dalam kasus tersebut.

Antisipasi KPK?
Ada yang menarik dari sidang praperadilan kali ini yaitu berkaitan dengan pertanyaan salah satu tim biro hukum KPK Efi Laila. Ia menanyakan jika dalam suatu sidang praperadilan hakim tunggal mengabulkan gugatan pemohon, apakah dimungkinan bagi KPK untuk kembali menetapkan orang tersebut sebagai tersangka kasus korupsi.

Menurut Adnan, aparat penegak hukum termasuk KPK bisa kembali menetapkan seseorang menjadi tersangka jika dalam sidang praperadilan hakim mengabulkan gugatan pemohon. Penegah hukum, terang Adnan bisa memperbaiki kesalahan yang menjadi dasar putusan hakim dalam mengabulkan gugatan tersebut dalam proses praperadilan.

(Baca juga: Membuka Simpul Keterlibatan Nama Besar dalam Kasus e-KTP).

“Jadi bisa diajukan lagi (sebagai tersangka),  memperbaiki apa yang diputuskan hakim lagi. Umpamanya penetapan tidak sah,  maka dengan surat perintah yang benar dapat diajukan lagi,” jelas Adnan.

Ahli lainnya yang diajukan KPK, Feri Amsari, bicara tentang kewenangan dan independensi KPK terkait pengangkatan penyidik sendiri. Dosen FH Universitas Andalas ini berpendapat KPK pada mulanya didirikan karena dua lembaga penegak hukum yang ada sebelumnya yaitu Kepolisian dan Kejaksaan belum bisa menjalankan fungsi pemberantasan korupsi dengan maksimal.

Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugas KPK menurut undang-undang diperbolehkan mengangkat penyelidik, penyidik dan penuntut umum sendiri meskipun bukan berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan. “Itu sebabnya penyelidik, penyidik dan penuntut umum tidak harus dari polisi dan jaksa seperti di KUHAP,” ujarnya.

Terkait upaya pencegahan yang dilakukan KPK, Feri mengatakan hal itu memang menjadi kewenangan dari lembaga antirasuah sesuai Pasal 12 UU KPK. Dan jika di kemudian hari ada pihak yang keberatan atas hal tersebut maka seharusnya diajukan kepada instansi terkait dalam hal ini Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.

Selanjutnya jika pihak yang dicegah merasa dirugikan ia juga bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Kalau individual final ya tata negara,  bisa saja lakukan gugatan TUN.  Kalau dia konkret, individual, final, ada masalahya digugat,” terang Feri.
Tags:

Berita Terkait