Hindari Jerat Pencucian Uang bagi Profesi Hukum, Kenali Dua Hal Ini
Berita

Hindari Jerat Pencucian Uang bagi Profesi Hukum, Kenali Dua Hal Ini

Harus disusun standar KYC bagi profesi hukum di masing-masing lembaga profesi.

Oleh:
CR-24
Bacaan 2 Menit
Ahmad Fikri Assegaf bersama Chandra M. Hamzah (Partner Kantor Hukum AHP) saat mengisi acara Diklat HKHPM. Foto: CR-24
Ahmad Fikri Assegaf bersama Chandra M. Hamzah (Partner Kantor Hukum AHP) saat mengisi acara Diklat HKHPM. Foto: CR-24
Advokat sebagai pemberi jasa hukum dalam melaksanakan tugasnya mengacu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Kode Etik Advokat Indonesia. Namun, dalam perjalanannya tak jarang ada aturan hukum saling bertentangan, sehingga menjadi polemik ketika menjalankan tugas profesi advokat.

Dalam Pasal 19 ayat (1) UU Advokat, misalnya, profesi ini diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Ayat (2)-nya berbunyi advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumen terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik.

Selain itu, dalam alinea kedua pembukaan Kode Etik Advokat Indonesia disebut advokat adalah profesi terhormat yang dalam menjalankan profesi berada di bawah perlindungan hukum, undang-undang, dan kode etik, memiliki kebebasan yang didasarkan pada kehormatan, kepribadian yang berpegang teguh pada kemandirian, kejujuran, kerahasiaan dan keterbukaan.

Dalam Pasal 4 huruf h Kode Etik Advokat Indonesia juga disebutkan advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah hubungannya dengann klien berakhir.

Lalu bagaimana jika klien diduga tersangkut dengan kasus tindak pidana seperti korupsi, terorisme ataupun pencucian uang? Partner Kantor Hukum Assegaf Hamzah & Partners (AHP), Chandra M. Hamzah berbagi pengalaman bagaimana para advokat bisa terhindar dari keikutsertaan dalam suatu kasus pidana atau sebagai pihak yang dimanfaatkan oleh kliennya.

Apalagi, profesi advokat, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), akuntan publik, dan perencana keuangan disebut sebagai pihak pelapor dalam Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Definisi pelapor menurut Pasal 1 angka 3 UU TPPU disebutkan setiap orang yang menurut peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan TPPU wajib menyampaikan laporan kepada PPATK.

“UU TPPU itu hanya menyangkut dua pokok, yaitu mengenal pengguna jasa atau Know Your Customer (KYC) dan Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM),” ujar Chandra dalam Diklat yang diselenggarakan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dengan tema “Teknik Pelaporan oleh Konsultan Hukum dalam Rezim TPPU” di Galeri BEI, Jakarta, Sabtu (30/9/2017).

Chandra menjelaskan penerapan pengguna jasa atau KYC ditetapkan oleh setiap lembaga pengawas dan pengatur seperti yang dimaksud dalam UU TPPU. Namun, jika lembaga itu belum ada, maka menjadi tugas PPATK untuk mengawasi. “Masalahnya, apa profesi advokat bersedia melakukan KYC?” ujarnya. Baca Juga: Kiat-Kiat Menjadi In House Counsel yang Sukses

Mantan Pimpinan KPK ini bercerita ketika ada sebuah firma hukum luar negeri yang ingin menggunakan kantor hukumnya karena ada transaksi yang berhubungan dengan Indonesia. Dan firma hukum tersebut lantas mengirimkan formulir KYC ke kantor hukumnya. Hal ini, menurut Chandra, firma hukum di luar negeri itu telah menerapkan prinsip dan standar KYC dalam melaksanakan profesinya.

Sayangnya, di Indonesia profesi advokat belum menerapkan hal itu. Ia berharap organisasi seperti HKHPM bisa menyusun formulir standar mengenai KYC. Hal itu bentuk prinsip kehati-hatian guna mengetahui siapa yang akan menjadi pengguna jasa advokat. Dengan begitu, advokat dapat terhindar dari tudingan turut serta dalam TPPU.

“Jadi kita buat minimal dulu ajalah (formulir standar KYC). Lembaga pengawas, pengatur yang memiliki pengawasan, dalam hal belum ada, maka diatur PPATK. Sekarang daripada diatur PPATK, lebih bagus kita atur sendiri, dibuat lembaga pengawas yang bisa menjatuhkan sanksi seperti HKHPM, formulir kita yang buat jadi kita yang bisa jalankan (sendiri),” ujarnya menjelaskan.

Mengenal TKM
Selain KYC, dalam pencucian uang ada istilah Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM). Chandra sendiri mengakui jika mayoritas advokat memang tidak mempunyai kemampuan maupun kewenangan untuk menginvestigasi adanya temuan TKM seperti aparat penegak hukum lain ataupun PPATK.

Chandra memberi gambaran bagaimana transaksi mencurigakan itu bisa terjadi. Dia mewanti-wanti jangan sampai terlibat suatu pembayaran properti milik pihak lain. Sebab, dikhawatirkan uang yang digunakan pengguna jasa bukan dari hasil yang sah atau diduga terkait suatu tindak pidana tertentu.

“Jangan senang dengan kiriman uang, dibuat SOP, lebih bagus uang itu jangan diberikan. Begitu uang masuk ke notaris, padahal untuk bayar BPHTB, orang pajak itu anggapnya income. Harusnya ada rekening penampungan dan dinyatakan bukan milik notaris. Kalau advokat jangan masuk dalam proses ini, jangan terima uang, langsung ajalah mereka bayar sendiri,” tutur Chandra berbagi pengalaman.

Advokat, kata Chandra, seringkali dimanfaatkan menjadi perpanjangan tangan langsung pengguna jasa. Hal ini sebenarnya tidak masalah, namun lagi-lagi dikhawatirkan advokat itu justru seolah “membantu” pengguna jasa yang terindikasi melakukan pidana pencucian uang. Sebab, jika menjadi perpanjangan tangan langsung seperti diatur Pasal 3 ayat (2) Peraturan Kepala PPATK Nomor 11 Tahun 2016, advokat ini bukan dianggap sebagai pemberi jasa hukum, tetapi bagian dari legal owner.

Transaksi Keuangan Mencurigakan yang wajib dilaporkan
Peraturan Kepala PPATK Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Profesi
Bab Kedua, Kewajiban Pelaporan
Pasal 3 ayat (1)
Laporan TKM yang wajib dilaporkan kepada PPATK adalah TKM yang
dilakukan oleh Profesi untuk kepentingan atau untuk dan atas nama
Pengguna Jasa, mengenai
a. pembelian dan penjualan properti;
b. pengelolaan terhadap uang, efek, dan/ atau produk jasa keuangan lainnya;
c. pengelolaan rekening giro, rekening tabungan, rekening deposito, dan/atau rekening efek;
d.  pengoperasian dan pengelolaan perusahaan; dan/atau
e. pendirian, pembelian, dan penjualan badan hukum
Pasal 3 ayat (2)
Untuk kepentingan atau untuk dan atas nama Pengguna Jasa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal bersifat kontraktual:
a. didasarkan kepada surat kuasa baik umum maupun khusus;
b. didasarkan atas penunjukan sebagai trustee atau nominee yang bertindak untuk dan atas nama orang yang menunjuk;
c. menyiapkan dokumen dan data pendukung transaksi, baik dalam bentuk elektronik maupun bentuk lainnya yang membuktikan terjadinya suatu transaksi;
d. bertindak sebagai wali amanah (custody), menjalankan kebijaksanaan investasi atau melakukan supervisi;
e. sebagai legal owner yang bertindak untuk kepentingan beneficial owner yang merupakan pihak yang mengendalikan dan menikmati akibat hukum dari tindakan legal owner;
f. bertindak untuk kepentingan orang lain apabila terdapat ikatan satu kelompok usaha (group);
g. merupakan pihak terafiliasi (afiliated party), meliputi:
1) anggota dewan komisaris;
2) pengawas;
3) direksi atau kuasanya;
4) pejabat; atau
5) karyawan Pengguna Jasa;
h. merupakan pihak terkait atau orang perseorangan atau Korporasi yang
mempunyai hubungan pengendalian dengan Profesi, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui hubungan kepemilikan,
kepengurusan, dan/atau keuangan;
i. melakukan penyimpanan aset milik Pengguna Jasa;
J. memberikan persetujuan, melaksanakan, atau menyelesaikan suatu transaksi, atau mewakili klien dalam melaksanakan suatu kewenangan atau bahkan memiliki kewenangan untuk mewakili Pengguna Jasa dalam melaksanakan kewenangan tersebut;
k. melaksanakan fungsi manajemen dengan melaporkan hal-hal yang relevan kepada pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola perusahaan;
l. mempromosikan, menawarkan, atau menjadi penjamin efek dalam suatu penawaran umum saham bagi Pengguna Jasa;
m. mewakili klien dalam menyetujui persyaratan transaksi atau melakukan suatu Transaksi;
n. memberikan saran mengenai struktur pendanaan dan menganalisis dampak akuntasi yang dapat terjadi dari usulan Transaksi pendanaan tersebut;
o. menyetorkan, menarik uang, mentransfer, menempatkan deposito atau melakukan Transaksi lain atas nama Pengguna Jasa;
p. melaksanakan pembayaran pajak pembelian dan penjualan atas nama dan berdasarkan permintaan Pengguna Jasa;
q. melaksanakan roya, peningkatan hak, dan penurunan hak untuk kepentingan Pengguna Jasa;
r. melaksanakan pemeliharaan data dan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya; atau
s. melaksanakan pemeliharaan data selanjutnya untuk kepentingan pengguna jasa yang bukan merupakan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah sesuai ketentuan perundang-undangan.

Chandra melanjutkan, jika prosesnya pengguna jasa menolak mematuhi prinsip KYC yang ditawarkan profesi baik itu advokat, PPAT, notaries, ataupun profesi lain yang masuk kriteria pelapor itu yang juga meragukan kebenaran informasi yang disampaikan pengguna jasa, maka penyedia jasa wajib memutuskan hubungan dengan pengguna jasa tersebut.

Hal ini diatur dalam Pasal 22 UU Nomor 8 tahun 2010 juncto Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kepala PPATK Nomor 7 Tahun 2017. Ayat (2)-nya disebutkan sebagaimana dimaksud ayat (1) jika melakukan hubungan pemutusan, maka wajib melaporkannya kepada PPATK.

Tingkatkan derajat advokat
Sedangkan dari sisi korporasi, Partner Kantor Hukum AHP lain, Ahmad Fikri Assegaf mengatakan saat ini profesi advokat bisa dibilang cukup berkembang. Jika sebelumnya hanya berkutat dalam urusan pengadilan atau hukum semata, saat ini advokat juga bertransformasi menjadi bagian cukup penting dalam suatu perusahaan.

“Dulu saya mulai praktek peran advokat bidang korporasicemen betul, dianggap nggak penting, waktu meeting kita tidak dianggap. Makin kesini berbeda, kita sebagai advokat ditanya lebih dulu. Sebelum transaksi dimulai, aspek legal dulu, advokat diminta profesi lain untuk bikin struktur, dan lainnya. Kita punya peran lebih dan tanggung jawab lebih, ini derajat kita sebagai advokat ditingkatkan lagi. Dulu klien kasih kerjaan kita yes boss aja,” ujar Fikri menceritakan pengalamannya.

Jika dahulu advokat seolah hanya menuruti permintaan pengguna jasa, saat ini advokat mempunyai daya tawar cukup tinggi dan bisa menanyakan asal usul apabila ada suatu transaksi yang mencurigakan dari sebuah perusahaan. Dan hal itu, sambung Fikri, sudah memang seharusnya dilakukan para advokat dewasa ini, sehingga bisa mengetahui darimana asal usul adanya transaksi yang dimaksud.

Fikri juga tidak menampik ada beberapa oknum advokat yang rela dipinjam namanya sebagai direksi suatu perusahaan. Padahal, dari tindakan tersebut advokat yang dimaksud tidak mendapatkan hasil pendapatan yang signifikan. Sebab hal itu dianggap sebagai bagian dari pelayanan yang diberikan oleh advokat itu sendiri.

“Sekarang sudah era baru, saya setuju dengan Chandra, di Perka PPATK dan PP beri jalan untuk kita. Daripada repot melaporkan, ada resiko bocorkan rahasia klien, bikin tahap pengenalan transaksi (mengenal pengguna jasa), review awal. Tahap itu kalau ngerasa ‘bau’ kita bisa charge fee juga, kita bilang gak bisa lanjut,” ujar Fikri.

Apabila hal itu tidak dilakukan, maka ada resiko yang cukup besar bagi pengguna jasa perusahaan atau direksi yang diduga ada transaksi mencurigakan. Pertama mengundurkan diri dan memberi laporan kepada PPATK sesuai aturan perundang-undangan. Kedua bisa turut serta diduga melakukan tindak pidana apabila ditemukan unsur-unsur pidananya.

“KPK juga agresif gunakan TPPU. Kalau profesi hukum atau lawyer ikut aktif melaksanakan ini (KYC dan TKM) akan semakin sulit orang melakukan pencucian uang,” jelasnya.

Karena itu, dia mendukung apabila HKHPM menyusun standarisasi KYC. Sebab, hal itu bisa menjadi dasar untuk mengetahui apabila ada pengguna jasa yang hanya ingin memanfaatkan profesi untuk melakukan pencucian uang. Standarisasi perlu segera disusun untuk menghindari profesi menyusun standarnya masing-masing tanpa adanya rujukan dari organisasi yang sah dan akuntabel. 
Tags:

Berita Terkait