MKK dan Sentuhan Pertama Advokat Asing di Indonesia
Lipsus: Sejarah Kantor Advokat Indonesia

MKK dan Sentuhan Pertama Advokat Asing di Indonesia

Sengketa saat bekerjasama dengan law firm asing, membuahkan peraturan mengenai pembatasan praktik advokat asing di Indonesia.

Oleh:
Kartini Laras Makmur
Bacaan 2 Menit
Mochtar Kusumaatmadja. Foto ilustrasi: HGW
Mochtar Kusumaatmadja. Foto ilustrasi: HGW
Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menjadi keran yang membuka arus globalisasi ekonomi di Indonesia. Sejak saat itu, banyak investor asing yang datang ke Indonesia menawarkan kontribusi pembangunan. Para advokat Indonesia saat itu melirik kehadiran para investor asing tersebut sebagai salah satu kesempatan untuk memulai praktik hukum bonafide.

Mochtar Kusumaatmadja, salah seorang sarjana hukum yang saat itu berpikir bahwa aliran investasi asing yang cukup deras membutuhkan dukungan praktik hukum modern. Maka, ia pun mantap berencana untuk mendirikan sebuah law firm. Terlebih, ide itu didukung oleh seniornya yang juga seorang ekonom kenamaan, Soemitro Djojohadikusumo.

Soemitro memediasi agar Mochtar Kusumaatmadja membuka kantor hukum bersama Adnan Buyung Nasution. Sebagai permulaan, Soemitro siap memasok klien bagi kantor hukum tersebut. Caranya, aspek-aspek hukum dari pekerjaan biro konsultasi ekonomi dan keuangan Soemitro, Indo Consult, akan diteruskan kepada Mochtar dan Buyung.

Di tengah perencanaan pembukaan kantor hukum Mochtar-Buyung yang sudah matang, Soemitro diangkat menjadi Menteri Perdagangan kabinet pertama Orde Baru. Mochtar dan Buyung kesulitan berkomunikasi dengan Soemitro. Rencana itu pun terbengkalai. Namun, Mochtar maupun Buyung sudah teguh membuka kantor hukum. Akan tetapi, seperti diungkapkan oleh Buyung dalam autobiografinya Pergulatan Tanpa Henti - Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto”, keduanya sepakat untuk jalan sendiri-sendiri.

(Baca Juga: ABNA, Cikal Bakal Lahirnya Kantor Advokat Modern Generasi Kedua)

Gayung bersambut bagi Mochtar. Seorang advokat asal Amerika Serikat yang merupakan teman Mochtar saat menempuh pendidikan di Harvard, Charles Kirkwood, mengajaknya untuk membuka law firm bersama. Kirkwood adalah seorang partner di law firm Amerika Serikat yaitu Kirkwood, Kaplan, Russin & Vecchi yang juga memiliki kantor di Bangkok.

Sebelumnya, Kirkwood juga sudah membuka kantor di Jakarta dengan David Heron sebagai managing partner. Sayangnya, kantor Kirkwood di Jakarta itu stagnan. Ia pun berpikir usahanya akan lebih cemerlang jika berkolaborasi dengan Mochtar.

Mochtar kemudian mengajak John Karuwin, koleganya yang telah lebih dulu menjadi praktisi hukum bisnis. Akhirnya, pada awal tahun 1970 berdirilah law firm MKK yang merupakan akronim Mochtar, Kirkwood, dan Karuwin.

Kirkwood mengajak koleganya David Heron, Frank Morgan, dan Dan Emmet. Sementara, Mochtar mengajak serta Komar Kantaatmadja, yang merupakan asistennya saat mengajar di Universitas Padjajaran. Pada tahun 1969, Komar baru pulang dari Amerika Serikat, mengambil gelar master di bidang hukum internasional (LL.M.) di Berkeley University. Selain itu, Ariani Nugraha, mahasiswa Mochtar di Universitas Indonesia juga diajak bergabung.

“Saat itu saya sudah bergabung dengan Pak Soedargo Gautama. Tetapi di sana saya lebih banyak melakukan aktivitas riset hukum. Padahal sejak masuk fakultas hukum saya sangat ingin bergelut di dunia law firm. Jadi tawaran Pak Mochtar langsung saya terima,” tutur Ariani kepada hukumonline.

Law firm MKK itu menempati sebuah rumah gedung di kawasan Thamrin, yang sekarang berdiri Gedung BDN. Ariani ingat betul, gaji pertama yang ia terima dari Mochtar dan Kirkwood adalah Rp25.000.

Rupanya perjalanan MKK tak semulus harapan Mochtar. Hanya enam bulan setelah disepakatinya kerja sama antara Mochtar dan Kirkwood, terjadi perselisihan di antara mereka. Persoalan dalam pelaksanaan kebijakan penagihan klien (billing policy) mencuat. Kirkwood tidak adil kepada Mochtar.

Mochtar menceritakan kepada Adnan Buyung Nasution, bahwa ia mendapat perlakuan tidak adil dari Kirkwood. Buyung pun berusaha membantu agar Mochtar dan Kirkwood bisa menemui jalan tengah. Tapi, Mochtar bersikukuh untuk berpisah dengan Kirkwood.

“Bayangkan, lawyer asing itu kalau mengerjakan perkara, dia charge di Indonesia 10%, sedangkan yang 90% dia charge di Amerika Serikat melalui kantor pusatnya. Klien itu kan punya perusahaan di Amerika juga. Ambil contoh, misalkan perusahaan X di Amerika, di sini kami bekerja barangkali senilai 1000 dolar, yang dia charge di Indonesia hanya 10% atau 20%, yaitu 100 atau 200 dolar, yang 800 dolar dia charge sendiri di Amerika, ke kantor dia pribadi,” tutur Adnan Buyung Nasution menceritakan keluh kesah Mochtar, sebagaimana dikutip dari buku Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto.

Kirkwood meminta jasa baik Mardjono Reksodiputro untuk mendamaikannya dengan Mochtar. Mardjono kenal baik dengan Mochtar sebagai seniornya di Fakultas Hukum UI. Selain itu, saat Mardjono masih tinggal bersama keluarganya, Mochtar kerap mengunjungi ayah Mardjono, Soemitro Reksodiputro, seorang advokat di Jakarta.

Tetapi Mardjono tak berhasil menengahi Mochtar dan Kirkwood. Menurut Mardjono, Mochtar dan Komar sangat marah kepada Kirkwood karena merasa telah dicurangi. “Wajah Mochtar di sini sangat keras, beliau sangat berpegang teguh pada prinsip-prinsip fairness dalam kerja sama.

(Baca Juga: Boy Mardjono, Soe Hok-Gie, dan Keadilan Bagi Orang Miskin)

Apapun yang diajukan Kirkwood, dalam usaha mencoba menjelaskan masalahnya dan meminta maaf, Mochtar tetap tenang dan tidak emosional tetapi keras. Saya gagal mendamaikan Mochtar dengan Kirkwood,” ujar Mardjono dalam buku Rekam Jejak Kebangsaan Mochtar Kusuma-atmadja.

Setelah pecah kongsi dengan Kirkwood, Mochtar mengajak Karuwin dan Komar untuk mendirikan law firm sendiri. Pada 1 Juni 1971 law firm Mochtar Karuwin Komar yang disingkat MKK pun berdiri. Ariani Nugraha mendapat tawaran untuk bergabung tidak hanya dari Mochtar, tetapi juga dari Kirkwood. Bahkan, Kirkwood menjanjikannya akan memberikan bayaran dua kali lipat.

“Saya ditanya oleh Pak Mochtar, “Mau bergabung ke mana?” Tanpa berpikir dua kali saya langsung jawab, mau ikut Pak Mochtar. Eh, ternyata setelah gabung MKK gaji saya juga naik dua kali lipat,” seloroh Ariani mengenang masa awal berdirinya MKK.

Hukumonline.com
Keterangan: John Karuwin, Komar Kantaatmadja dan Mochtar Kusumaatmadja. Foto: Istimewa

Sementara itu, David Heron dan Frank Morgan memilih tetap bergabung dengan Mochtar. Sejarah mencatat, MKK menjadi law firm Indonesia yang pertama kali mempekerjakan advokat asing sebagai karyawan. Bahkan, sampai saat ini Frank Morgan masih menjadi bagian dari MKK.

“David Heron pergi ke Denmark setelah menikah, karena istrinya kurang kerasan di Indonesia. Mungkin Frank Morgan tetap bertahan di sini sampai punya tempat tinggal di Bali, karena dia tidak menikah. Dulu sempat menikah dengan orang Amerika, tetapi bercerai,” ujar Ariani.

Mochtar kemudian mengajak Koen Santoso, wanita pengacara berpengalaman untuk bergabung di MKK, juga Sidik Suraputra teman Mochtar yang menjadi pengajar hukum internasional publik di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI). Totalnya ada tujuh orang advokat termasuk para founding partners yang menggerakan MKK.

(Baca Juga: Selamat Jalan Profesor Sudargo)


Dalam buku Rekam Jejak Kebangsaan Mochtar Kusuma-atmadja, Sidik Suraputra mengaku Mochtar mengatakan kepada Sidik bahwa masa depan investasi modal asing akan baik. Kantor konsultan hukum yang bonafid diperlukan untuk menanganinya. Hal ini untuk meyakinkan Sidik agar mau bergabung di MKK. Namun, menurut Sidik sesungguhnya ia tak memerlukan iming-iming apapun untuk bergabung dengan Mochtar.

“Bukan hanya informasi itu yang membuat saya bersedia memasuki MKK, tapi saya dan Pak Mochtar memiliki chemistry yang sama sehingga tidak sulit untuk bekerja sama,” ungkap Sidik.

Pembatasan advokat asing
Setelah kerja sama dengan Mochtar kandas, Kirkwood masih berkukuh ingin tetap berpraktik di Indonesia. Ia pun mengajukan diri untuk bergabung dengan Adnan Buyung Nasution Associates (ABNA). Kirkwood mengenal Adnan Buyung Nasution saat Buyung ikut terlibat dalam upaya menyelesaikan sengketa antara Mochtar dan Kirkwood, bersama Mardjono.

Mendapat permintaan dari Kirkwood, Buyung pun berkonsultasi dengan Mochtar. Ternyata Mochtar tak keberatan jika Buyung bekerja sama dengan mantan partner nya itu. Hanya saja, Mochtar mengingatkan agar Buyung berhati-hati dan jangan sampai mengulangi pengalaman pahit bekerja sama dengan advokat asing.

“Charles Kirkwood jadinya malah tertarik untuk bekerja sama dengan saya, minta tetap berada di Indonesia. Saya berunding dengan Mochtar yang mengatakan boleh-boleh saja, tetapi menasihati supaya saya berhati-hati,” kata Buyung.

Akhirnya Buyung menerima Kirkwood bergabung di law firm-nya. Bukan sebagai partner dalam kedudukan yang setara seperti saat Kirkwood bekerja sama dengan Mochtar. Melainkan berstatus sebagai pegawai dan mendapat gaji dari Buyung.

“Pengalaman Mochtar bekerja sama dengan lawyer asing, dan dia merasa ditipu atau dirugikan, saya ambil sebagai pelajaran. Hal itu merupakan pengalaman yang pertama dan berharga pula bagi Indonesia,” tandas Buyung.

Tiga tahun setelah MKK lahir kembali, Mochtar diangkat menjadi Menteri Kehakiman. Ia mendapat masukan dari banyak kalangan advokat agar pemerintah menerbitkan regulasi mengenai pembatasan advokat asing. Pengalamannya bekerja sama dengan Kirkwood pun menjadi modal baginya untuk melakukan pengaturan praktik advokat asing.

“Waktu itu belum ada peraturan atau undang-undang mengenai lawyer asing yang membuka praktik di Indonesia. Banyak kritik dari orang-orang, bagaimana orang asing kok bisa berpraktik begitu saja di negara kita. Pengalaman Mochtar Kusumaatmadja denganlawyer asing yang merupakan pengalaman berharga itu kami diskusikan. Selaku Menteri Kehakiman, akhirnya Mochtar membuat peraturan,” tutur Buyung.

Pada tanggal 6 Juli 1974, Mochtar mengeluarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor No. J.S.15/24/7 tentang Pembatasan Praktik Advokat Asing di Indonesia. Menurut Kepmenkeh itu, advokat asing tidak boleh menjadi partner atau pengurus sebuah law firm di Indonesia. Jika ingin berpraktik di Indonesia, maka harus dipekerjakan oleh law firm Indonesia sebagai penasihat dan berstatus sebagai karyawan. Selama di Indonesia, advokat asing hanya boleh bekerja di satu law firm Indonesia, dan tidak boleh menjadi partner atau karyawan di law firm luar negeri.

Selain itu, Kepmenkeh No. No. J.S.15/24/7 mengatur bahwa advokat asing hanya boleh bergerak dalam aspek hukum internasional atau hukum negara asalnya. Secara tegas advokat asing dilarang untuk menangani aspek hukum Indonesia. Advokat asing juga tidak boleh mewakili law firm tempatnya bekerja di luar maupun di muka pengadilan.

Sebagai tambahan, advokat asing juga berkewajiban memberikan transfer of knowledge kepada advokat Indonesia dan memberikan pengabdian pada pemerintah. Salah satu caranya, dalam satu bulan minimal advokat asing harus memberikan 10 jam waktunya untuk memberikan praktik pro bono.

Hukumonline.com
Diolah dari berbagai sumber.

Melahirkan SSEK
MKK terus melanjutkan misi untuk melayani penanaman modal asing (PMA) yang ketika itu membanjir di berbagai sektor. Mardjono Reksodiputro dalam buku Rekam Jejak Kebangsaan Mochtar Kusuma-atmadja mengungkapkan, pada awal tahun 70-an secara hampir bersamaan tokoh hukum di Jakarta yaitu Ali Budiardjo dan Mochtar Kusuma-atmadja masing-masing memprakarsai terbentuknya dua kantor hukum yang berbeda dengan kantor hukum yang sebelumnya banyak tumbuh di Indonesia.

Keduanya tidak berorientasi pada penanganan kasus di pengadilan, tetapi membantu pemodal asing yang akan berinvestasi di Jakarta. Menurut Mardjono, kedua kantor hukum ini bertujuan membantu pemodal-pemodal asing yang ingin menanamkan modal di Indonesia dengan membuka perusahaan. Bidang hukum yang dilayani di sini adalah terutama hukum perikatan, hukum perseroan, hukum agraria, hukum perdata internasional, dan hukum perjanjian internasional.

MKK pun tampil sebagai law firm yang naik daun saat itu. Keraguan masa depan law firm itu pasca ditinggal Kirkwood pun terbantahkan. Kemajuan MKK cukup pesat dengan karyawan yang jumlahnya bertambah. Pada akhirnya, kantor harus berpindah ke tempat yang lebih representatif. Kemudian, MKK menempati Gedung Kosgoro di Jalan Teuku Umar Jakarta, lalu ke sebuah gedung di Jalan Teuku Cik Ditiro Jakarta, dan sejak tahun 1985 hingga kini menempati Wisma Metropolitan di Jalan Sudirman Jakarta.

Soetandyo Wignjosoebroto dalam buku Mochtar Kusuma-atmadja dan Teori Hukum Pembangunan mengungkapkan bahwa dalam perundingan-perundingan joint venture pada awal pemerintahan Orde Baru, Mochtar menunjukkan keberhasilannya memaksa pihak asing menerima klausula masuknya orang-orang Indonesia ke dalam jajaran manajemen perusahaan multinasional yang memungkinkan orang-orang Indonesia ikut menguasai seni manajemen perusahaan-perusahaan internasional.

Akan tetapi, pada tahun 1992, empat orang lawyer dan seorang penasehat MKK memutuskan untuk berpisah. Mereka adalah Dyah Soewito, Retty Anwar Suhardiman, Ira Andamara Eddymurthy, Agustina Supriyani Kardono, dan Darrell R. Johnson. Kelimanya kemudian mendirikan sebuah law firm baru bernama SSEK (Soewito, Suhardiman, Eddymurthy, Kardono).

MKK tidak mempermasalahkan lawyer-lawyer maupun penasehat nya yang berpisah dan mendirikan law firm baru. Menurut Ariani, semua lawyer berhak menentukan jalannya masing-masing. Ia mengaku, meskipun secara di atas kertas pihaknya dengan law firm yang lahir dari rahim MKK itu berkompetisi, tetapi semua tetap berteman.

“Ya, tentu semua secara di atas kertas kita berkompetisi. Tetapi kita tetap berteman. Tidak ada sakit hati. Semua orang punya jalan hidup sendiri-sendiri dan mereka berhak menentukan jalannya masing-masing, mengejar cita-citanya,” ujar Ariani.

Ariani mengatakan bahwa tanpa kelahiran law firm yang didirikan oleh mereka yang pernah menjadi bagian MKK pun, dinamika persaingan law firm saat ini cukup ketat. Menurutnya, justru yang lebih merepotkan adalah kehadiran advokat-advokat asing yang semakin banyak masuk ke Indonesia. Sebab, mereka banyak menawarkan klien dari jaringan yang sudah dimilliki di luar negeri.

“Kita cukup repot lah dengan persaingan, karena memang cukup berat. Terutama yang kita lihat belakangan ini law firm-law firm asing banyak masuk, di mana mereka kerja sama dengan law firm Indonesia tetapi sesungguhnya asing itu yang kontrol. Jadi, mereka ambil klien dari network yang mereka punya di luar,” paparnya.

Tak akan berganti nama
Sebagai salah satu law firm modern generasi pertama yang masih eksis hingga kini, Ariani mengaku MKK memiliki satu kunci. Ia menyebutnya dengan upaya menjaga tradisi, terutama tradisi manajemen dan kontrol mutu. Salah satu kontrol mutu yang dilakukan MKK adalah melalui mekanisme approval dari senior lawyer ataupun partner terhadap setiap pekerjaan hukum yang akan disampaikan kepada klien.

“Kalau kita bicara bagaimana MKK bisa bertahan sampai 46 tahun, itu adalah soal bagaimana kita mempertahankan mutu. Bagaimana menjaga kualitas lawyer-lawyer kita dan advis-advis kita, termasuk juga mengenai bahasa. Kita sangat memperhatikan soal itu. Kita percaya bahwa itu yang dicari oleh klien,” kata Ariani.

Hukumonline.com
Para Partner MKK: Dari kiri ke kanan (atas): Emir Kusuma-Atmadja dan Mulyana.
Dari kiri ke kanan (bawah): Miranti Malikus Ramadhani, Ariani Nugraha dan Enny P. Widhya. Foto: Istimewa

Ia menambahkan, ada saja lawyer-lawyer muda yang belum berpengalaman ingin maju sendiri memberikan advis secara langsung kepada klien. Menurut Ariani, dalam manajemen yang dijalani MKK sejak dulu, hal itu tidak bisa dilakukan. Sebelum pekerjaan yang sudah diselesaikan para lawyer muda itu sampai ke tangan klien, terlebih dulu harus direview oleh senior lawyer atau partner.

“Ketemu sama klien langsung menyampaikan advis sebenarnya kita tidak melarang. Tetapi kita mengimbau supaya di awal-awal selalu bersama-sama senior. Kalau sudah empat sampai lima tahun, mereka bisa saja jalan sendiri,” ungkapnya.

Sistem manajemen yang demikian, menurut Ariani justru memperkecil sekat antara partner dengan para lawyer. Sebab, lawyer jadi punya kesempatan untuk berdiskusi dan menimba ilmu secara langsung kepada para senior dan partner. Ia pun menyayangkan jika di sebuah law firm seorang lawyer untuk bertemu saja dengan partner tidak pernah.

“Kita pun yang sudah bertahun-tahun bekerja sebagai lawyer, harus selalu rajin belajar. Jangan anggap kalau sudah bertahun-tahun bekerja, maka sudah mengetahui semua hal. Apalagi di bidang hukum, ada selalu ada hal baru yang harus didalami,” imbuhnya.

Selain soal sistem manajemen dan kontrol mutu, menurut Ariani hal penting yang juga patut dipertahankan adalah soal nama law firm itu sendiri. Saat ini, partner MKK telah berubah. Namun, Ariani mengatakan nama law firm tak perlu berubah mengikuti nama partner yang kini menggerakkan MKK.

“Kalau di dunia law firm itu memang ada individu yang senang dan merasa bangga ada namanya sebagai nama law firm. Kadang kala mereka itu menuntut untuk namanya agar ada dalam bagian nama law firm itu. Buat saya nama itu enggak penting. Saya tidak ada keinginan untuk nama saya ada sebagai nama law firm ini,” akunya.

Dengan perasaan mendalam Ariani pun mengungkapkan kesan yang ia dapati dari Mochtar Kusumaatmadja, sehingga membentuk loyalitasnya kepada MKK. Sosok Mochtar bagi Ariani adalah seorang pemimpin sejati dan sangat layak menjadi teladan. Karenanya, bagi Ariani merupakan kebanggaan tersendiri bisa terus berkarya bersama Mochtar di MKK.

“Pak Mochtar itu dosen saya di FHUI. Beliau adalah sosok pemimpin sejati bagi saya. Makanya kalau untuk saya pribadi, saya sudah terlalu loyal dan setia. Tidak mau ke mana-mana lagi,” pungkasnya.


Tags:

Berita Terkait