Fintech Saling Berkolaborasi, OJK Mulai Antisipasi Risiko
Berita

Fintech Saling Berkolaborasi, OJK Mulai Antisipasi Risiko

Risiko tersebut antara lain fraud, perlindungan konsumen, prinsip anti pencucian uang dan pendanaan terorisme, serangan siber, tata kelola digital, dan penempatan data kritikal di Indonesia.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Gedung Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta. Foto: RES
Gedung Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta. Foto: RES

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berusaha mengantisipasi risiko layanan keuangan berbasis teknologi (Financial Technology/Fintech). Regulator bersikap aturan yang ketat cenderung mematikan sementara aturan yang longgar khawatir berdampak pada risiko ekonomi yang lebih masif.

 

Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida mengatakan, kolaborasi model bisnis fintech yang satu dengan yang lainnya mesti diantisipasi dengan regulasi yang tepat. Oleh karena itu, OJK tengah menjaring masukan dari berbagai pihak termasuk pelaku fintech itu sendiri agar regulasi yang diterbitkan bisa menjamin tumbuhnya industri fintech. Pasalnya, OJK menilai setiap model bisnis fintech memiliki risiko tersendiri.

 

“Karena setiap sistem pun pasti ada risikonya. Jadi kita coba masukan baik dari hasil riset ataupun pelaku industri sendiri agar bisa buat aturan baik yang mengatur produknya maupun pengawasannya sejauh mana agar bisa cocok dengan kondisi fintech di Indonesia,” kata Nurhaida, Selasa (31/10).

 

Sebelumnya, regulator baru mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 7/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi atau yang dikenal dengan peer to peer (P2P) lending. OJK menyatakan akan segera merilis aturan terbaru lain bagi pelaku fintech dengan model bisnis equity crowdfunding dan fintech yang model on balance sheet.

 

Ke depan, lanjut Nurhaida, bukan tidak mungkin regulator juga akan berkolaborasi dalam melakukan pengawasan lantaran kecenderungan pelaku fintech mengembangkan model bisnisnya lebih dari satu. Ambil contoh, fintech model P2P lending memiliki payment system sendiri dalam satu aplikasi, sedangkan dua model bisnis tersebut masing-masing diatur dan diawasi regulator yang berbeda. Model P2P lending diawasi oleh OJK sementara payment system menjadi kewenangan Bank Indonesia (BI).

 

Perkembangan ke depan bisa terjadi ada campuran. Jadi itu yang disebut kolaborasi. Bisa saja fintech (P2P lending) tapi ada payment-nya. Ada (juga) transportasi, tapi ada payment-nya. Sudah hybrid. jadi bukan berdiri sendiri-sendiri. Itu kenapa secara nasional kita butuh forum nasional fintech melihat ini secara keseluruhan,” kata Nurhaida.

 

Dikatakan Nurhaida, forum nasional tersebut juga dapat mejadi wadah bagi regulator untuk mengawasi fintech. Pengawasan yang dilakukan pada prinsipnya demi tumbuhnya industri fintech itu sendiri sembari menjaga industri jasa keuangan konvensional yang sudah eksis lebih dahulu. Selain itu, antar regulator di luar OJK dan BI dapat berkolaborasi membahas regulasi karena jangan sampai antara regulator melakukan saling mengatur sehingga membuat industri tidak tumbuh.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait