LBH Jakarta Keluhkan Sulitnya Pelaksanaan PP Ganti Rugi
Utama

LBH Jakarta Keluhkan Sulitnya Pelaksanaan PP Ganti Rugi

Bagus di atas kertas, tapi sulit dijalankan. Tantangan dalam pelaksanaan putusan pengadilan.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi korban ingin mendapatkan keadilan dan kepastian. Ilustrator: HGW
Ilustrasi korban ingin mendapatkan keadilan dan kepastian. Ilustrator: HGW

Terhitung sudah lebih dari dua tahun pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau dikenal juga dengan PP Ganti Rugi. Ketika terbit, beleid itu disambut baik berbagai kalangan terutama lembaga bantuan hukum (LBH) yang selama ini kerap menangani kasus korban salah tangkap atau peradilan sesat. Kepala Bidang Fair Trial LBH Jakarta, Arif Maulana, menilai regulasi ini sudah cukup baik dibanding sebelumnya karena menaikan jumlah nominal yang bisa diterima korban.

Sayangnya, pelaksanaan PP yang ditetapkan dan diundangkan 8 Desember 2015 itu masih terkendala. Bahkan Arif menilai PP itu bagus di atas kertas tapi tidak bisa dijalankan. Persoalan itu dihadapi oleh salah satu perkara korban salah tangkap yang ditangani LBH Jakarta yakni kasus pengamen Cipulir.

(Baca Juga: Korban Salah Tangkap Gunakan PP Ganti Rugi Terbaru).

Awalnya, dua orang pengamen Cipulir yaitu Andro Supriyanto dan Nurdin Priyanto dijatuhi vonis masing-masing 7 tahun penjara oleh majelis PN Jakarta Selatan lewat putusan bernomor PN 1273/Pid.B/2013/PN.Jkt.Sel. Dalam amar putusan majelis menyatakan kedua pengamen itu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘pembunuhan secara bersama-sama.’

Putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta bernomor 60/Pid/2014 /PT.DKI menganulir putusan PN Jakarta Selatan itu dengan vonis bebas. Putusan banding diperkuat oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi melalui putusan No. 1055K/Pid/2014. Selain itu mereka juga menempuh upaya praperadilan di PN Jakarta Selatan untuk menuntut ganti rugi sebesar Rp1 Milyar. Hasilnya, majelis hakim praperadilan hanya mengabulkan tuntan ganti rugi sebesar Rp72 juta.

Sejak putusan pra peradilan itu terbit Agustus 2016 sampai sekarang kedua pengamen korban salah tangkap itu belum menerima kompensasi ganti rugi sesuai amar putusan pengadilan. Arif berpendapat persoalan ini sering dihadapi LBH Jakarta saat menangani perkara yang lawannya negara (pemerintah). LBH Padang yang mendampingi korban kekerasan aparat dan memenangkan gugatan hingga Mahkamah Agung juga mengalami kesulitan mendapatkan ganti kerugian dari negara.

Mengacu PP Ganti Rugi, Arif menyebut pembayaran ganti rugi itu harusnya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan ganti kerugian diterima oleh Menteri Keuangan. Menurut Arif, pihak pemerintah beralasan ganti kerugian itu belum bisa diberikan karena Kementerian Keuangan belum menerbitkan peraturan pelaksana tentang tata cara pembayaran ganti rugi sesuai PP No.92 Tahun 2015. Pasal 39C PP Ganti Rugi menjelaskan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai ganti rugi wajib disesuaikan dengan PP Ganti Rugi paling lambat 6 bulan sejak PP Ganti Rugi diundangkan.

“PP itu sudah diundangkan dua tahun lalu, tapi sampai sekarang Kementerian Keuangan belum menerbitkan peraturan teknisnya,” kata Arif dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Selasa (10/4). Padahal, berdasarkan catatan hukumonline, Menteri Keuangan sebenarnya sudah menerbitkan regulasi mengenai pembayaran atas putusan pengadilan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait