Jelang Pilkada Serentak, Tiga Potensi Ini Patut Diwaspadai
Berita

Jelang Pilkada Serentak, Tiga Potensi Ini Patut Diwaspadai

Politik uang, politik kebencian dan politik dinasti mungkin masih akan muncul.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Peluncuran pemilu jujur. Foto: RES
Peluncuran pemilu jujur. Foto: RES

Hari pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2018 di 171 daerah tinggal menghitung jam. Banyak pihak yang mengawal pelaksanaan Pilkada serentak, bukan hanya Badan Pengawas Pemilu, tetapi juga kelompok-kelompok masyarakat sipil. Pengawasan yang baik akan menentukan kualitas pesta demokrasi tersebut. Para pemangku kepentingan perlu mewaspadai gangguan yang mungkin timbul.

 

Analis politik Exposit Strategic, Arif Susanto, mengingatkan sedikitnya tiga potensi yang patut diwaspadai dalam pergelaran Pilkada serentak. Pertama, politik uang, yang jenisnya sangat beragam seperti uang mahar, donasi yang melanggar ketentuan, dan memberi imbalan kepada pemilih.

 

Arif mengatakan uang mahar dari calon untuk partai politik masuk kategori perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur UU No. 10 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Regulasi itu memuat ancaman sanksi administratif, pidana dan denda bagi partai politik atau gabungan yang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan kepala daerah. “Mengacu data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) rata-rata calon Walikota atau Bupati mengeluarkan uang Rp20-Rp30 milyar, untuk Gubernur sekitar Rp100 milyar,” kata Arif dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (25/6).

 

(Baca juga: Mengenal Aspek Hukum Masa Tenang Pilkada 2018)

 

Bentuk politik uang lainnya, jelas Arif, adalah sumbangan untuk dana kampanye yang melebihi batas ketentuan. Pasal 74 UU No. 10 Tahun 2016 mengatur sumbangan dana kampanye dari perseorangan paling banyak Rp75 juta dan Rp750 juta dari badan swasta. Tapi Arif melihat tak jarang pasangan calon dan tim pemenangannya mencari celah agar sumbangan itu bisa melebihi batas ketentuan. Misalnya, untuk sumbangan dari swasta dipecah tidak berasal dari satu perusahaan saja tapi banyak perusahaan, padahal antar perusahaan itu masih dalam grup korporasi yang sama.

 

Menurut Arif praktik politik uang dalam pilkada sangat mengkhawatirkan, calon yang terpilih nanti akan sibuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama kampanye. Periode 2004-2017 tercatat 87 kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi. “Awal 2018 KPK menangkap tangan 10 kepala daerah tersangka korupsi, sebagian bersiap untuk berkompetisi dalam pilkada,” ujarnya.

 

(Baca juga: Warning!!! KPK-Polri Tangkap Pelaku Politik Uang dalam Pilkada)

 

Kedua, politik kebencian. Arif berpendapat karakter politik kebencian memanfaatkan prasangka berbasis identitas, ujungnya berpotensi menghasilkan pembelahan sosial. Cara ini menurut Arif cukup berhasil diterapkan dalam Pilkada di Jakarta 2017. Tapi bukan berarti cara serupa bisa digunakan untuk daerah lain. Arif khawatir politik kebencian ini digunakan untuk menciptakan dukungan berkelanjutan setelah Pilkada serentak 2018 yaitu sampai Pemilu 2019.

 

Ketiga, dinasti politik. Bagi Arif karakter dinasti politik yaitu keluarga dari pasangan calon yang memiliki penguasaan luar biasa atas sumber daya ekonomi dan politik di daerah tersebut. Dia mencatat pada Pilkada serentak 2015 ada 12 nama calon memiliki hubungan kekerabatan dengan tokoh politik lokal yang berpengaruh. Dari belasan calon itu 5 diantaranya terpilih menjadi kepala daerah dan menjabat sampai 2020. Pada Pilkada serentak 2017 calon yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan tokoh politik lokal jumlahnya meningkat, terhitung 8 dari 12 kandidat terpilih menjadi kepala daerah.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait