Divestasi Saham Freeport Dinilai Abaikan Pemulihan Lingkungan
Berita

Divestasi Saham Freeport Dinilai Abaikan Pemulihan Lingkungan

Sebagai negara berdaulat, pemerintah Indonesia seharusnya tegas menegakan hukum lingkungan dan menjatuhkan sanksi terhadap Freeport Indonesia.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Pertambangan. Foto: ADY
Ilustrasi Pertambangan. Foto: ADY

Keinginan pemerintah Indonesia untuk menguasai kepemilikan saham PT Freeport Indonesia ternyata belum final. Sebab, penandatanganan Head of Agreement (HoA) antara PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) dengan Freeport Mc Moran hanya tahap awal dari beberapa tahapan untuk dapat memiliki saham 51 persen dari Freeport Indonesia sepenuhnya.

 

Di sisi lain, kesepakatan divestasi saham Freeport ini dinilai masih menyisakan sejumlah persoalan. Salah satunya, masih mengabaikan pemulihan lingkungan. “Kesepakatan divestasi saham Freeport mengabaikan kepastian pemulihan lingkungan, khususnya lingkungan yang terkena dampak kerusakan dari operasi Freeport Indonesia di tanah Papua,” ujar Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyu Wagiman di Jakarta, Rabu (18/7/2018).   

 

Wahyu mengacu pada catatan jaringan advokasi tambang (Jatam) yang menilai Freeport Indonesia telah melakukan 22 kegiatan yang melanggar aturan analisis dampak lingkungan (amdal). Seperti, perluasan ukuran tambang terbuka Grasberg, dari 410 hektare menjadi 584 hektare. “Perubahan ukuran tersebut tidak dicantumkan dalam amdal,” ungkapnya.

 

Belum lagi, Freeport menjadikan sungai Aghawagon, Otomona, Ajkwa, Minajerwi dan Aimoe sebagai tempat pembuangan limbah beracun seperti merkuri dan sianida. Wahyu mengacu  hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait dua pelanggaran yang dilakukan Freeport Indonesia.

 

Menurutnya, dugaan pelanggaran tersebut berkaitan dengan penyalahgunaan izin penggunaan kawasan hutan lindung. Dan perubahan ekosistem akibat limbah hasil operasional tambang yang berakibat kerugian negara mencapai Rp 185 triliun. Tentunya, hal ini berdampak terhadap hak kehidupan masyarakat sekitar akibat operasi pertambangan emas Freeport Indonesia yang berhak atas lingkungan hidup yang sehat dan layak.

 

“Sekali lagi, penandatanganan HoA tersebut belum menunjukkan adanya niat Pemerintah Indonesia untuk menyertakan poin pemulihan lingkungan hidup dan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia akibat operasi pertambangan selama ini dalam satu kesepakatan dengan PT Freeport Indonesia,” keluhnya. Baca Juga: Kepastian Hukum dan Transparansi Pemerintah Soal Akuisisi Freeport Dipertanyakan

 

Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai Freeport semestinya menjalankan sanksi atas kerusakan lingkungan dampak dari penambangan. Padahal, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menerbitkan kurang lebih dari 40 sanksi akibat kerusakan lingkungan akibat penambangan yang dilakukan secara serampangan, melanggar aturan, dan mengabaikan tata penambangan yang baik.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait