Hakim Agung Suhadi, Juru Bicara Mahkamah Agung mengatakan bahwa hakim di peradilan umum bisa menjadikan norma hukum internasional termasuk Resolusi DK PBB sebagai penguat argumentasi. Hal ini disampaikannya dalam diskusi terarah bertema “Penerapan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa ke dalam Hukum Nasional Indonesia”, Senin (24/7), di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung (FH UNPAD).
Suhadi memaparkan bahwa kemerdekaan hakim termasuk pula menjalankan fungsi yang melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis melalui pembentukan hukum (rechtsvorming) dan penemuan hukum (rechtsvinding). Dengan perkataan lain, hakim melalui pengadilan dalam sistem hukum Indonesia juga mempunyai fungsi membuat hukum baru (creation of new law).
“Memang banyak putusan-putusan pengadilan yang mengadopsi ketentuan-ketantuan internasional, tetapi biasanya bukan untuk menentukan unsur delik, melainkan penguat argumentasi dalam pembuktian unsur,” jelas Suhadi di hadapan para peserta diskusi.
Ia mengakui bahwa ketentuan-ketentuan yang hidup di dunia internasional ikut menjadi sumber hukum di Indonesia sejajar dengan berbagai pendapat para ahli dan doktrin. Tetapi dalam hal menggunakan Resolusi DK PBB, Suhadi menilai harus dipilah terlebih dahulu. Ia merujuk pada Statuta International Court of Justice (ICJ) Pasal 38 ayat 1.
Sumber: bahan presentasi Hakim Agung Suhadi
Menurut Juru Bicara Mahkamah Agung ini, tidak semua Resolusi DK PBB langsung bisa menjadi hukum internasional. Resolusi DK PBB baru menjadi hukum internasional apabila telah diikuti oleh banyak negara. Saat itu, Resolusi telah “berganti baju” menjadi Hukum Kebiasaan Internasional. Resolusi DK PBB semacam inilah yang menurut Suhadi bisa dirujuk para hakim di peradilan umum.
Statute of The International Court of Justice
Article 38 (1) The Court, whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall apply:
|
Suhadi menekankan bahwa penggunaan Resolusi DK PBB dalam proses penegakan hukum di persidangan tetap mengacu kepada prinsip kepastian hukum, keadilan hukum serta kemanfaatan hukum. Khususnya adanya kehati-hatian di dalam mentransplasikan prinsip dan hukum asing ke dalam konteks Indonesia.