Akademisi Kritik Efektivitas UU PPHI, Begini Jawaban Pemerintah
Utama

Akademisi Kritik Efektivitas UU PPHI, Begini Jawaban Pemerintah

Simposium hukum ketenagakerjaan yang digelar di Bandung mengungkap beragam pandangan tentang Pengadilan Hubungan Industrial.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Simposium hukum ketenagakerjaan di Universitas Parahyangan Bandung, Kamis (26/7). Foto: ADY
Simposium hukum ketenagakerjaan di Universitas Parahyangan Bandung, Kamis (26/7). Foto: ADY

Hubungan kerja antara buruh dan pengusaha tak selamanya berjalan baik, dalam perjalanannya bisa terjadi perselisihan. Sejak 14 tahun lalu sampai sekarang UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) masih menjadi rujukan para pihak dalam menyelesaikan perselisihan ketenagakerjaan.

 

Meskipun demikian, sejumlah akademisi mengungkapkan kritik terhadap efektivitas penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berjalan selama ini. Kritik itu antara lain datang dari Ida Susanti. Dosen hukum ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung ini pernah melakukan penelitian mengenai PPHI. Hasilnya, sejumlah kalangan mengeluhkan panjangnya proses penyelesaian perselisihan melalui mekanisme sebagaimana diatur UU PPHI. UU PPHI juga hanya membatasi jenis perselisihan menjadi empat yakni perselisihan hak, perselisihan kepentingan, PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan.

 

Menurut Ida, masih banyak perselisihan ketenagakerjaan yang belum diakomodasi UU PPHI seperti perselisihan antar serikat di luar perusahaan atau di tingkat federasi dan konfederasi. Ida mengusulkan agar UU PPHI mencakup juga perselisihan ketenagakerjaan lain yang lebih luas.

 

(Baca juga: Menelisik Hukum Acara Pengadilan Hubungan Industrial)

 

Dalam symposium berkembang juga pandangan yang menilai bahwa pelaksanaan UU PPHI belum efektif. Terbatasnya jangka waktu yang diberikan UU PPHI kepada para pihak untuk menyelesaikan perselisihan melalui bipartit dianggap terlalu singkat sehingga proses bipartit kurang optimal. Kemudian tidak ada sanksi yang dijatuhkan kepada pihak yang tidak patuh terhadap proses bipartit, misalnya salah satu pihak menunda, tidak hadir, sehingga proses berlarut.

 

Jika proses bipartit gagal, mediasi menjadi mekanisne lanjutan yang paling banyak ditempuh para pihak. Padahal ada mekanisme lain seperti konsiliasi dan arbitrase. Menurut Ida, itu terjadi karena proses mediasi relatif lebih murah, para pihak tidak mengeluarkan biaya mahal. Berbeda dengan arbitrase dimana para pihak menanggung biaya dalam jumlah yang bisa dibilang tidak murah. Regulasi yang ada juga tidak memberi aturan yang jelas mengenai konsiliasi.

 

Mediasi dalam UU PPHI juga berbeda dengan  UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. UU No.30 Tahun 1999 mengatur mediasi sebagai alternatif dari pengadilan untuk menyelesaikan sengketa. Jika memilih mediasi berarti para pihak mengesampingkan kewenangan pengadilan untuk menyelesaikan sengketa itu. Tapi dalam UU PPHI, mediasi sebagai mekanisme eksekutif untuk mengawali penyelesaian sengketa sebelum para pihak berlanjut ke pengadilan. "Ini Perlu dirombak, UU PPHI harus selaras UU No. 30 Tahun 1999," usulnya.

 

Masalah lain adalah sulitnya eksekusi jika pengusaha tidak mau sukarela melaksanakan isi perjanjian bersama (PB) atau putusan PHI. Ida menjelaskan putusan PHI sulit dieksekusi karena melibatkan banyak lembaga yang saling terpisah. Tercatat dari 306 permohonan eksekusi di PHI Jakarta tahun 2015 hanya 10 eksekusi yang berhasil diselesaikan. Juru sita melakukan eksekusi hanya untuk putusan yang memiliki angka kongkrit misalnya pengusaha harus membayar  pesangon. "Eksekusi sulit dilakukan jika putusannya bersifat kualitatif, misalnya menghukum pengusaha untuk mempekerjakan kembali buruh," paparnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait