Ketika Advokat yang “Nyaleg” Bicara Soal RUU Advokat
Advokat di Pusaran Pemilu

Ketika Advokat yang “Nyaleg” Bicara Soal RUU Advokat

Terkait perpecahan organisasi profesi, kompetensi lawyer, kedudukan advokat sebagai penegak hukum, pertanggungjawaban profesi dan organisasi, serta hubungan advokat dengan lembaga-lembaga negara lainnya.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
(kiri ke kanan) Mujahid Latief, Ahmad Irawan dan Surya Tjandra. Foto: Istimewa
(kiri ke kanan) Mujahid Latief, Ahmad Irawan dan Surya Tjandra. Foto: Istimewa

Pro kontra mengenai pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Advokat menjadi isu menarik menjelang momentum Pemilhan Anggota Legislatif (Pileg) tahun 2019. Meski RUU ini tidak masuk dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2018, penting rasanya untuk mengetahui pandangan sejumlah calon anggota legislatif (Caleg) terkait masa depan pembahasan RUU Advokat. Terutama pandangan caleg yang sebelumnya berasal dari latar belakang profesi advokat.

 

Terkait pembahasan RUU Advokat, sebuah episode menarik terjadi pada bulan September 2014 silam. Sejumlah advokat dari beberapa organisasi profesi advokat yang berbeda-beda melakukan unjuk rasa secara bergantian menyuarakan dukungan serta ketidaksetujuan dibahasnya RUU tersebut oleh Komisi III DPR RI. Bahkan, sejumlah advokat yang tergabung dalam Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) melakukan aksi penolakan terhadap pembahasan RUU Advokat.

 

Aksi ini kemudian dijawab dengan aksi lainnya yang dilakukan setelahnya. Sejumlah advokat dari organisasi Kongres Advokat Indonesia (KAI) melakukan aksi dengan membawa tuntutan yang menyuarakan dukungan dilakukannya pembahasan terhadap RUU Advokat. Menariknya, di waktu bersamaan, Peradi Banyuwangi juga melakukan aksi penolakan terhadap pembahasan RUU yang sama.

 

Pro kontra tersebut setidaknya juga diakui dan menjadi perhatian sejumlah advokat yang saat ini tengah mempersiapkan diri berkontestasi dalam Pileg 2019. Partner JLP Law Firm, Mujahid Latief, kepada hukumonline meng-capture persoalan ini. “Ada sebagian yang menghendaki adanya perubahan terhadap UU (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat) itu, tapi ada juga sebagian yang menganggap bahwa UU itu masih cukup layak untuk dipertahankan,” terang Mujahid saat dihubungi hukumonline, Rabu (8/8).

 

Ia mensinyalir, perbedaan pendapat mengenai penting tidaknya perubahan terhadap UU Advokat menjadi penyebab utama terhambatnya proses pembahasan RUU Advokat di DPR. Mujahid sendiri menilai keberadaan UU Advokat yang baru saat ini sudah menjadi sesuatu yang sifatnya mendesak. Terutama ketika melihat dinamika perdebatan mengenai single bar association dan multi bar association.

 

Baca:

 

Hal ini nampaknya berdampak luas terhadap kualitas dan profesionalitas pelayanan jasa advokat terhadap masyarakat pencari keadilan. Untuk itu Mujahid menilai yang paling penting saat ini adalah bagaimana seorang advokat mampu mencerminkan dalam sikap dan implementasi layanan jasa hukum, profesi advokat dapat kembali ditempatkan sebagai profesi yang mulia (officium nobile).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait