Catatan Kritis 5 Profesor Hukum Acara Perdata tentang e-Court
Konferensi ADHAPER 2018:

Catatan Kritis 5 Profesor Hukum Acara Perdata tentang e-Court

Sistem pelayanan elektronik di pengadilan, e-court, diapresiasi. Tapi perlu langkah antisipatif.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Sejumlah pembicara dalam Konferensi Nasional Hukum Acara Perdata di Jember, 10-12 Agustus 2018. Foto: Edwin
Sejumlah pembicara dalam Konferensi Nasional Hukum Acara Perdata di Jember, 10-12 Agustus 2018. Foto: Edwin

Hukum acara perdata telah berkembang dalam praktik. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya pun beragam, tak hanya bersandar pada HIR atau RBg warisan Belanda. Hukum acara perdata juga ikut berkembang lewat beleid yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung baik berupa Peraturan Mahkamah Agung (Perma) maupun Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Salah satunya adalah Perma No. 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik, lazim disebut e-Court.

Mahkamah Agung sedang mendiseminasi informasi e-court kepada para pemangku kepentingan, terutama para advokat. Rupanya, akademisi hukum juga mengikuti perkembangan e-Court yang terbit sejak April lalu. Kebijakan ini juga sempat ditanyakan hukumonline kepada sejumlah peserta Konferensi Hukum Acara Perdata V yang diselenggarakan Asosiasi Dosen Hukum Acara Perdata (ADHPER) di Jember, Jum’at pekan lalu.

Sejumlah profesor hukum yang hadir dalam konferensi nasional itu mengapresiasi lahirnya Perma No. 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik (e-Court). Mereka juga menyampaikan kritis atas kebijakan tersebut. Program e-Court diyakini akan meringkas prosedur persidangan karena beberapa tahapan acara perdata dapat dialihkan melalui sistem elektronik. Pemanggilan para pihak, pengiriman dokumen replik-duplik, bahkan pembayaran biaya perkara difasilitasi dengan sistem canggih ini. Verifikasi para advokat sebagai kuasa hukum para pihak pun ikut ditangani oleh e-court. Nantinya para pihak cukup mendaftar pada akun e-court yang disediakan oleh pengadilan di https://ecourt.mahkamahagung.go.id.

(Baca juga: Advokat Dipastikan Tak Bisa Bersidang Jika Tak Mendaftar di e-Court).

Pengaturan adminitrasi perkara secara elektronik ini akan terus berkembang dalam seluruh proses beracara di persidangan. Pasal 1 Perma No. 3 Tahun 2018 menjelaskan administrasi perkara secara elektronik adalah serangkaian proses penerimaan gugatan/permohonan, jawaban, replik, duplik dan kesimpulan, pengelolaan, penyampaian dan penyimpanan dokumen perkara perdata/agama/tata usaha militer/tata usaha negara dengan menggunakan sistem elektronik yang berlaku di masing-masing lingkungan peradilan.

Guru Besar Hukum Acara Perdata Universitas Padjadjaran Bandung, Efa Laela Fakhriah, setuju atas terobosan yang dibuat Mahkamah Agung. Ia mengungkapkan perlunya pemilahan proses persidangan yang bisa dialihkan menggunakan sistem elektronik. “Harus kita pilah, mana yang memang akan menunjang asas cepat, sederhana, biaya ringan, dan mana yang justru akan membuat polemik,” ujar Ketua Umum ADHAPER ini.

(Baca juga: Mahkamah Agung Dukung RUU Hukum Acara Perdata Segera Disahkan).

Catatan lain diungkapkan lebih tegas Guru Besar  Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Yohannes Sogar Simamora. Menurut dia, e-court tidak boleh sampai meniadakan pemeriksaan saksi secara langsung di persidangan. Ia bahkan lebih setuju jika e-court hanya terbatas dalam registrasi perkara.  “Bagaimana mungkin di dalam persidangan pemeriksaan saksi pakai online? Cukup untuk registrasi saja,” katanya.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Benny Riyanto menaruh perhatian pada pengamanan sistem elektronik yang disediakan Mahkamah Agung. Misalnya kemampuan tim teknis di seluruh kepaniteraan dalam mengamankan jaringan e-court. Mantan Dekan Fakultas Hukum ini mempertanyakan sistem mitigasi risiko pengelolaan e-court jika mengalami kendala sambungan jaringan sehingga dokumen yang dikirimkan kepada para pihak tidak mereka terima. “Nanti pihak merasa tidak dipanggil. Lalu, kalau ada hacker, lalu diubah isinya, siapa yang bertanggung jawab dengan pengamanan sistemnya?,” ujar Benny yang kini menjabat Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Hukum dan HAM.

Tags:

Berita Terkait