Daerah Khawatirkan Sanksi Jika Tak Anggarkan Program JKN
Berita

Daerah Khawatirkan Sanksi Jika Tak Anggarkan Program JKN

Anggaran minim, obat-obatan terbatas.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Salah satu pemandangan layanan BPJS Kesehatan. Foto:  RES
Salah satu pemandangan layanan BPJS Kesehatan. Foto: RES

Sejak bergulirnya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pemerintah daerah didorong untuk mengintegrasikan jaminan kesehatan yang selama ini digelar melalui program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) ke JKN. Selaras itu pemerintah telah menerbitkan  Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2017 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasiona. Ada 11 lembaga yang diperintahkan untuk mengoptimalisasi pelaksanaan JKN, antara lain Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Inpres itu memerintahkan kepada bupati/walikota mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan program JKN; memastikan seluruh penduduknya terdaftar JKN; menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan sesuai standar kesehatan dan sumber daya manusia di wilayah masing-masing. Inpres juga meminta kepala daerah memastikan BUMD mendaftarkan seluruh pekerja dan keluarganya dalam program JKN sekaligus pembayaran iurannya; dan memberikan sanksi administratif.

Ternyata tidak mudah bagi pemerintah daerah untuk menyelenggarakan JKN sesuai amanat tersebut. Bupati Pasangkayu (sebelumnya bernama Mamuju Utara,-red) Sulawesi Barat, Agus Ambo Djiwa, mencatat sedikitnya ada empat tantangan yang dihadapi dalam menyelenggarakan JKN di daerah. Pertama, data kepesertaan belum mutakhir (dinas sosial setiap daerah) karena sumber daya manusia di daerah sangat terbatas. Kedua, terbatasnya fasilitas, sarana, dan prasarana di fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti Puskesmas.

(Baca juga: Ternyata, Integrasi Jamkesda ke JKN Belum Rampung).

Agus mengatakan Puskesmas di daerahnya tidak memiliki dokter. Dia sudah mengusulkan kepada Menteri Kesehatan agar sebaran dokter dibagi secara merata untuk setiap daerah. Itu dibutuhkan karena standar pelayanan kesehatan yang perlu disediakan di setiap daerah harus sesuai dengan standar nasional. “Di Puskesmas kami tidak ada dokter. Paling dokter itu adanya di RSUD,” katanya dalam kegiatan rapat koordinasi dengan DJSN di Jakarta, Kamis (27/9).

Ketiga, di tingkat fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL) seperti RSUD, obat-obatan terbatas. Kalau obat-obatan terbatas, akses pasien terhadap kesehatan semakin tertutup. Keempat, minimnya anggaran, khususnya dana perimbangan yakni dana alokasi khusus (DAK) dan dana alokasi umum (DAU). Menurut Agus hal tersebut berdampak terhadap penyelenggaraan program JKN di daerah. Minimnya anggaran menyebabkan pemerintah kabupaten Pasangkayu kesulitan mendaftarkan tenaga honorer dalam program JKN. Agus berharap kepada pemerintah provinsi dapat membantu pemerintah kabupaten dalam menyediakan anggaran untuk pelaksanaan JKN.

Agus mengklaim telah mendorong badan usaha di daerahnya untuk mendaftarkan seluruh pekerja dan keluarganya dalam program JKN. Mayoritas badan usaha yang beroperasi di kabupaten Pasangkayu bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit. Namun upaya tersebut belum membuahkan hasil sesuai harapan karena banyak perusahaan yang berkelit saat diminta untuk menunaikan kewajiban itu.

Senada, Wakil Walikota Tangerang Selatan, Benyamin Davnie, mengatakan masih berupaya keras mencari cara agar bisa mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan JKN guna mendukung tercapainya UHC. Benyamin mengusulkan Kementerian Dalam Negeri mengatur secara tegas berapa persen alokasi APBD untuk penyelenggaraan JKN. Ketentuan itu dibutuhkan agar tidak ada tumpang tindih sehingga bisa dimasukkan dalam perimbangan keuangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. “Kami bakal dikenakan sanksi jika tidak mengalokasikan anggaran untuk mendukung JKN,” paparnya.

Tags:

Berita Terkait