Regulasi-regulasi Soal Fintech Ini ‘Curi Perhatian’ Selama 2018
Utama

Regulasi-regulasi Soal Fintech Ini ‘Curi Perhatian’ Selama 2018

Terdapat tiga aturan baru yang perlu jadi perhatian para pelaku industri fintech.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengawas telah mengeluarkan sebanyak 38 peraturan sepanjang 2018. Aturan-aturan baru tersebut mencangkup berbagai sektor jasa keuangan mulai bank, asuransi, pasar modal hingga dana pensiun. Namun, di antara semua aturan tersebut terdapat satu sektor yang tidak kalah penting untuk dicermati yaitu financial technology (fintech).

 

Terus meningkatnya pertumbuhan industri fintech saat ini menjadi latar belakang otoritas perlu menetapkan aturan main sektor tersebut. Tidak hanya jenis fintech pinjam-meminjam online atau peer to peer lending (P2P), terdapat jenis lain yang saat ini semakin ramai digunakan publik seperti insurance technology (insuretech), urun dana (equity crowdfunding) hingga pembayaran digital (e-payment). Khusus e-payment pengaturannya berada di bawah Bank Indonesia (BI).

 

Berdasarkan rangkuman hukumonline, setidaknya terdapat tiga peraturan yang berkaitan dengan fintech. Regulasi terbaru yaitu Peraturan OJK Nomor 37/POJK.04/2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi (Equity Crowdfunding) yang berlaku sejak 31 Desember 2018. Dua peraturan lain yaitu POJK Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan dan POJK Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan.

 

  1. POJK Equity Crowdfunding

Equity crowdfunding adalah penyelenggaraan layanan penawaran saham yang dilakukan oleh penerbit untuk menjual saham secara langsung kepada pemodal melalui jaringan sistem elektronik yang bersifat terbuka. Singkatnya, praktik bisnis ini sama dengan saat perusahaan sedang mencari pendanaan publik melalui penawaran umum saham perdana atau initial public offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI).

 

Hanya saja, kegiatan equity crowdfunding ini tidak perlu meminta persetujuan OJK terlebih dahulu dalam setiap penawaran sahamnya kepada publik. Sehingga, equity crowdfunding dianggap jauh lebih efesien dan fleksibel bagi badan usaha yang membutuhkan penambahan modal melalui penawaran saham.

 

Pokok-pokok aturan equity crowdfunding:

  • Jangka waktu penawaran saham yang dilakukan penerbit paling lama 12 bulan. Kemudian, total dana yang dihimpun melalui penawaran saham paling banyak Rp 10 miliar.
  • Beleid ini juga membagi pelaku yang terlibat dalam kegiatan bisnis equity crowdfunding menjadi tiga pihak yaitu penyelenggara, penerbit saham dan pemodal. Terdapat ketentuan khusus yang harus dipenuhi para pihak tersebut dapat terlibat dalam kegiatan layanan urun dana ini.
  • Penyelenggara atau perusahaan fintech equity crowdfunding harus memiliki izin dari OJK. Penyelenggara harus berbadan hukum perseroan terbatas atau koperasi. Penyelenggara juga harus memiliki modal disetor paling sedikit Rp2,5 miliar saat mengajukan permohonan perizinan.
  • Penerbit wajib berbentuk perseroan terbatas (PT). Penerbit bukan perusahaan yang dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh suatu kelompok usaha atau konglomerasi.
  • Penerbit juga bukan perusahaan terbuka atau anak perusahaan terbuka dengan kekayaan lebih dari Rp10 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan. Penerbit wajib mencatatkan kepemilikan saham pemodal dalam daftar pemegang saham.
  • Pemodal dalam aturan ini mewajibkan berpenghasilan sampai dengan Rp 500 juta per tahun dan dapat membeli saham sebesar 5% dari penghasilan per tahun. Sedangkan, setiap pemodal dengan penghasilan lebih dari Rp 500 juta per tahun dapat membeli saham paling banyak sebesar 10% dari penghasilan per tahun.
  • Pemodal juga wajib memiliki badan hukum dan mempunyai pengalaman berinvestasi di pasar modal yang dibuktikan dengan kepemilikan rekening efek paling sedikit 2 tahun sebelum penawaran saham.

 

Sehubungan aturan tersebut, Juru Bicara OJK, Sekar Putih Djarot menjelaskan aturan ini memberi kejelasan hukum bagi pelaku usaha pemula yang ingin berkontribusi menyediakan alternatif sumber pendanaan dari masyarakat pemodal berbasis ekuitas (saham) dengan memanfaatkan teknologi informasi.

Tags:

Berita Terkait