Demi Legitimasi Pemilu, Waspadai Serangan Peretas
Berita

Demi Legitimasi Pemilu, Waspadai Serangan Peretas

Ancaman pidana bagi yang mengganggu sistem informasi pemilu paling lama 3 tahun penjara dan maksimal denda 36 juta rupiah.

Muhammad Yasin/ANT
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi keamanan siber pemilu. Ilustrator: BAS
Ilustrasi keamanan siber pemilu. Ilustrator: BAS

Isu delegitimasi pemilu mencuat seiring munculnya banyak kasus hoaks. Beragam isu diskriminasi, tuduhan, fitnah, berseliweran di media sosial. Sebagian memang berhasil diungkap aparat penegak hukum dan dibawa ke pengadilan. Saah satu kasus besar yang menarik perhatian publik dan kini sedang diproses ke pengadilan adalah kasus Ratna Sarumpaet.

Mengingat massifnya beragam informasi melalui media sosial, keamanan siber lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu menjadi penting. Komisi Pemilihan Umum juga menyadari kebutuhan atas keamanan siber tersebut. KPU memiliki sejumlah aplikasi yang menyediakan data dan informasi, misalnya Sidalih, Situng, Sipol, SIDUMAS, dan Si-Klinik. Aplikasi ini menyimpan dan menyediakan informasi yang beragam. Oleh karena itu, sasaran peretasan pun bertambah banyak. Ketua KPU Arief Budiman mengakui serangan peretas terus menerus terjadi, baik dating dari dalam negeri maupun luar negeri. KPU, kata dia, sudah mengecek berdasarkan IP address peretas, dan KPU berusaha untuk mengamankan siber KPU. “Sampai sekarang masih bisa ditangani,” ujarnya kepada wartawan pada pertengahan Maret lalu.

Salah satu lembaga yang menyoroti pentingnya keamanan siber tersebut adalah Institute for Digital Law and Society (Tordillas). Dalam diskusi yang digelar Tordillas, Senin (18/3) lalu misalnya masalah serangkan siber ini menjadi pusat perhatian. Pendiri Tordillas, Awaludin Marwan berpendapat infiltrasi peretas pemilu mungkin saja hanya noktah kecil dibanding besarnya masalah persiapan dan pelaksanaan pemilu 2019. Tetapi noktah kecil itu tak dapat diabaikan begitu saja, karena sudah ada presedennya. Pada 2004 silam, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 6 bulan 21 hari penjara kepada Dani Firmansyah. Ia terbukti bersalah meretas situs KPU dan beberapa partai.

(Baca juga: Yuk! Pahami Aturan Terbaru tentang Sengketa Informasi Pemilu).

Karena itu, Awaludin Marwan meminta para pemangku kepentingan memperhatikan ancaman serangan siber ini. Poin pertama yang perlu mendapat perhatian adalah keamanan insfrastruktur pendukung di KPU. Laman KPU adalah media penyampai informasi pemilu kepada masyarakat. Termasuk menyampaikan informasi hasil pemilu 17 April 2019. Serangan peretas terus terjadi dalam setiap pemilu, dan berpotensi mendistorsi informasi yang disajikan. Manakala informasi yang disampaikan terdistorsi, ketidakpercayaan bisa muncul, baik dari peserta pemilu maupun dari komunitas tertentu. “Setiap distorsi fakta akan menghasilkan respons yang ekstensif,” ujarnya.

Poin lain yang mendapat perhatian Tortillas adalah perhitungan cepat (quick count) yang dikelola KPU. Meskipun tidak berpengaruh apa-apa terhadap hasil akhir resmi yang dihitung secara manual, perhitungan cepat berbasis internet punya potensi mengalami serangan hacker. Jika pelaku berhasil masuk ke dalam sistem teknologi informasi KPU, pelaku bisa mengutak-atik angka hitungan cepat sesukanya. Hasil perhitungan retasan dapat mengganggu proses pemilu dan menimbulkan kegaduhan sosial.

(Baca juga: Konstruksi Pidana untuk Menjerat Tindakan Delegitimasi Pemilu).

Berkaitan dengan hitung cepat, saat ini ada pihak sedang mempersoalkan larangan pengumuman hasil jajak pendapat atau survei pemilu pada masa tenang. Pasal 449 ayat (2) dan ayat (5) UU No. 7 Tahun 20017 tentang Pemilihan Umum dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia dalam UUD 1945, sehingga dimohonkan untuk diuji Mahkamah Konstitusi.

Pasall 509 UU Pemilu mengancam pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda maksimal 12 juta rupiah ‘setiap orang yang mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang pemilu pada masa tenang’.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait