Perlindungan Hukum Pekerja Freelance dan Informal Perlu Diperkuat
Berita

Perlindungan Hukum Pekerja Freelance dan Informal Perlu Diperkuat

Ketentuan yang mengatur pekerja freelance perlu diatur secara rinci dalam Peraturan Menteri. Perlu juga merevisi UU Ketenagakerjaan yang memuat perlindungan pekerja freelance dan informal.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Perlindungan Hukum Pekerja Freelance dan Informal Perlu Diperkuat
Hukumonline

Undang-Undang (UU) No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Perjanjian kerja itu dibuat atas dasar kesepakatan kedua belah pihak; kemampuan/kecakapan melakukan perbuatan hukum; adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu (PKWT) atau untuk waktu tidak tertentu (PKWTT). Untuk PKWT dibuat secara tertulis, berbahasa Indonesia dan huruf latin. PKWT yang tidak dibuat secara tertulis dinyatakan sebagai PKWTT. Ketentuan lebih lanjut mengenai PKWT diatur dalam Kepmenakertrans No.100 Tahun 2004.

 

Kepmenakertrans ini mengatur beberapa jenis PKWT, salah satunya perjanjian kerja harian lepas atau dikenal dengan istilah freelance. Faktanya, perjanjian kerja freelance ini digunakan untuk berbagai jenis perusahaan termasuk di industri media dan kreatif. Pada industri media, pekerja freelance khususnya untuk jabatan kontributor.

 

Koordinator Advokasi Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (Sindikasi), Nur Aini melihat pekerja lepas sering menghadapi kondisi kerja yang buruk, seperti upah telat, kurang atau tidak dibayar. “Seringkali pekerja freelance bekerja tanpa batas waktu, upah lembur, jaminan sosial, kesehatan, serta perlindungan keselamatan kerja,” kata Nur dalam keterangannya, Senin (1/4/2019).

 

Terpisah, Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengatakan sejak awal seringkali perjanjian kerja tidak dibuat secara tertulis. Akibatnya, tidak ada norma yang jelas mengenai hak dan kewajiban para pihak. Padahal, dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku perjanjian kerja jenis PKWT harus dibuat secara tertulis.

 

Ade menerangkan Kepmenakertrans No.100 Tahun 2004 mengatur perjanjian kerja harian lepas ini sekurang-kurangnya memuat nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja; nama/alamat pekerja/buruh; jenis pekerjaan; besaran upah dan/atau imbalan lainnya. Ade mengingatkan PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.

 

Dia menilai Kepmenakertrans No.100 Tahun 2004 tidak merinci secara jelas kategori pekerja harian lepas. Karena itu, harus ada peraturan yang lebih tinggi, misalnya Peraturan Menteri untuk menegaskan apa saja hak dan kewajiban masing-masing pihak. Seperti, kewajiban pemberi kerja untuk mengikutsertakan pekerja lepas dalam program jaminan sosial.

Tags:

Berita Terkait