3 Aturan Ini Jadi Rujukan Utama dalam Hukum Tata Negara Darurat
Berita

3 Aturan Ini Jadi Rujukan Utama dalam Hukum Tata Negara Darurat

Ada yang sudah hampir berusia 50 tahun.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Seminar tentang Hukum Tata Negara Darurat di FHUI Depok, Senin (15/4). Foto: MYS
Seminar tentang Hukum Tata Negara Darurat di FHUI Depok, Senin (15/4). Foto: MYS

Pahlawan nasional, Mr. Iwa Kusuma Sumantri, pernah menulis tentang hukum darurat. Hukum darurat itu adalah hukum yang sengaja diadakan dalam dan untuk keadaan darurat, yakni keadaan yang sempit dan genting, keadaan yang sangat membahayakan. Hukum darurat biasanya termuat dalam undang-undang darurat.

Mr. Iwa Kusuma Sumantri (1899-1971) berpendapat ada lima syarat yang harus dipenuhi jika pemerintah ingin membuat undang-undang darurat, yakni adanya keadaan mendesak; keamanan membahayakan dan mengancam terwujudnya negara; untuk mengatasi keadaan dan kesulitan-kesulitan yang timbul dari keadaan bahaya itu; tidak ada kesempatan untuk mebahas dengan parlemen; dan undang-undang itu hanya berlaku selama ada bahaya.

“Hukum darurat itu disusun dan berlaku untuk mengatasi kegentingan, atau setidak-setidaknya untuk dijalankan hanya dalam waktu kegentingan itu,” tulis Mr Iwa Kusuma Sumantri dalam bukunya ‘Ilmu Hukum dan Keadilan’ yang diterbitkan pada 1956.

(Baca juga: Bahasa Hukum: ‘Revolusionisasi Hukum’ ala Mr Iwa Kusuma Sumantri).

Tiga tahun setelah tulisan Menteri Pertahanan Indonesia (1953-1955) itu terbitlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Qurrata Ayuni mengatakan Perppu Keadaan Bahaya ini bukan saja salah satu aturan hukum tata negara darurat yang penting diperhatikan, tetapi juga masih berlaku. “Ini masih berlaku sampai sekarang”, ujarnya saat tampil sebagai pembicara dalam seminar Hukum Tata Negara Darurat dalam Kondisi Kebencanaan di Depok, Senin (15/4).

Dua aturan lain yang perlu diperhatikan adalah Pasal 12 UUD 1945, dan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Ada beberapa fakta yang perlu diketahui mengenai ketiga aturan tersebut karena rumusannya mungkin saja berbeda. Misalnya tentang siapa yang berwenang menyatakan dan mencabut kondisi darurat.

  1. Pasal 12 UUD 1945

Pasal ini merupakan landasan konstitusional penetapan keadaan bahaya. Pasal ini menyebutkan: “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Rumusan ini salah satu pasal dalam UUD 1945 yang tidak mengalami perubahan.

Seperti halnya perang dan damai, Presiden juga berhak menyatakan keadaan bahaya. Cuma, syarat-syarat untuk dapat dikategorikan keadaan bahaya dan akibat hukumnya ditentukan dengan undang-undang. Atas dasar inilah Indonesia pernah memiliki UU No. 74 Tahun 1957 tentang Penetapan Keadaan Bahaya, yang kemudian dicabut berdasarkan Perppu No. 23 Tahun 1959.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait