Benturan Aliran Hukum dalam Sengketa Pilpres
Berita

Benturan Aliran Hukum dalam Sengketa Pilpres

Secara substansial, penjelasan ahli dari pihak terkait untuk menjawab argumentasi pendekatan progresif yang digunakan oleh Pemohon.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Sidang sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi. Foto: RES
Sidang sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi. Foto: RES

Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) sudah melakukan Rapat Permusyawaratan Hakim. Jika tidak ada aral melintang, putusan sengketa hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden (Pilpres) akan dibacakan pada Kamis (27/6). Apapun hasilnya, putusan MK bersifat final dan mengikat. Putusan itu adalah menjadi babak akhir penyelesaian sengketa pilpres melalui jalur hukum.

 

Normatifnya, Mahkamah Konstitusi hanya memutuskan apakah perhitungan suara yang ditetapkan KPU sudah atau tidak. Jumlah perolehan suara pasangan 01 (Joko Widodo-Ma’ruf Amin) adalah 85.607.362 suara atau 55,50 persen; sedangkan pasangan nomor urut 02 berjumlah 68.650.239 suara atau 44,50 persen. Ada selisih 16.957.123 suara. Inilah yang kemudian dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi.

 

Sesuai rumusan konstitusi, salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah ‘memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum’. Pemohon keberatan, pasangan capres nomor urut 02 (Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno), mempersoalkan penetapan KPU atas hasil perolehan suara dan menilai banyak pelanggaran yang terjadi sebelum dan pada saat pelaksanaan pemilu. Lantas, apakah Mahkamah Konstitusi semata memutuskan hasil perhitungan KPU semata atau lebih dari sekadar hitung-hitungan.

 

(Baca juga: Sembilan Hakim MK Sang Penentu Gugatan Prabowo-Sandi)

 

Dalam permohonannya, Pemohon mengatakan cecara legal formal, kewenangan MK dalam menangani sengketa hasil Pemilihan Umum terbatas pada salah benarnya rekapitulasi suara hasil Pemilu. Artinya, Mahkamah akan memutuskan benar tidaknya hasil perhitungan KPU. Jika pendekatan ini yang dipakai, berarti majelis lebih mengedepankan keadilan prosedural.  Pemohon menganggap pendekatan ini bersifat konservatif, lebih menerapkan keadilan prosedural, dan berlandaskan pada pemahaman bahwa kecurangan Pemilu merupakan ranah kompetensi Bawaslu, bukan Mahkamah Konstitusi.

 

Pemohon menilai bahwa penganut paradigma ini menginginkan agar MK dalam menangani sengketa hasil Pemilu, hanya memeriksa proses hasil perhitungan dan rekapitulasi suara. Dengan kata lain, MK dipandang tidak dapat memeriksa kecurangan proses pemilu sebelum penetapan hasil oleh KPU. Dalam permohonan yang disampaikan di depan majelis, Pemohon tegas menolak penggunaan pendekatan paradigma ini.

 

Dalil yang digunakan oleh Pemohon adalah untuk menegakkan keadilan Pemilu secara susbtantif, MK tidak bisa hanya diletakkan sebagai pemutus sengketa hasil Pemilu secara kuantitatif, hitung-hitungan.

 

Pemohon kemudian menawarkan paradigma lain. MK didorong untuk lebih progresif dalam mengadili sengketa PHPU Pilpres. Pemohon mendalilkan dan menghadirkan sejumlah saksi dan ahli yang secara kualitatif menggambarkan telah terjadinya dugaan kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) Melalui pendekatan ini, kuasa hukum pemohon berpandangan bahwa Mahkamah tetap berwenang untuk memeriksa secara keseluruhan tahapan proses Pemilu.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait