Evaluasi Pengambilan Kebijakan di Sektor Ekstraktif, IMI Singgung Diskresi Presiden
Berita

Evaluasi Pengambilan Kebijakan di Sektor Ekstraktif, IMI Singgung Diskresi Presiden

Isu perpanjangan PKP2B ini harus dilihat dalam kerangka proses renegosiasi atas Kontrak Karya (KK) dan PKP2B sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Minerba.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi usaha pertambangan. Foto: RES
Ilustrasi usaha pertambangan. Foto: RES

Polemik mangkraknya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 belum menemukan titik terang. Di sisi yang lain, satu dari tujuh perusahaan Pemegang Perjanjian Karya Pegusahaan Batu Bara (PKP2B) generasi pertama, yakni PT Tanito Harum tidak lagi dapat melanjutkan operasinya akibat izin perpanjangan PKP2B yang sempat dikeluarkan oleh Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (KESDM) ditarik kembali. Dari sisi penegakkan rezim Undang-Undang 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, hal ini menjadi angin segar.

 

Betapa tata kelola industri di sektor ekstraktif yang selama ini dipandang sebagian kalangan menyisakan carut marut. Dengan adanya peringatan dari KPK dan Surat dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tentang kepatuhan terhadap UU Minerba dalam proses perpanjangan PKP2B, setidaknya KESDM diharapkan mampu memperbaiki kebijakan perpanjangan PKP2B sehingga sesuai dengan semangat UU Minerba.

 

Ketua Indonesia Mining Istitute, Irwandi Arief, memiliki sejumlah catatan tekait hal ini. Menurut Irwandi, Pemerintah harus mengevaluasi proses penyusunan kebijakan terkait tata kelola sektor ekstraktif, terutama dalam konteks yang sedang dihadapi kali ini yaitu PKP2B. Syarat yang harus dipenuhi oleh pemerintah dalam penyusunan maupun pemberlakuan kebijakan adalah aspek transparansi, akuntabilitas, dan melibatkan publik dalam diskursus mengenai kebijakan.

 

“Setiap pengambilan kebijakan harus memenuhi syarat transparansi, akuntabilitas, dan public discourse,” ujar Irwandi dalam sebuah diskusi terkait polemic perpanjangan PKP2B, Rabu (10/7), di Jakarta.

 

Menurut Irwandi, penggunaan diskresi oleh Permerintah sepanjang tidak memperhatikan adanya aspek-aspek yang disebutkan di atas, hanya akan menimbulkan sejumlah kecurigaan dan tendensi negatif dari pihak lain. Salah satunya misalnya korupsi. Tidak heran jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut mengingatkan KESDM.

 

Tidak hanya sampai di situ, sejumlah dampak yang juga mesti diperhatikan dalam proses pengambilan kebijakan oleh Pemerintah terkait sektor Batubara, Irwandi mengingatkan agar Pemerintah memperhatikan dampak sosial yang akan dirasakan oleh maryarakat sekitar wilayah tambang. Begitu juga dengan dampak lingkungan yang nantinya akan ditimbulkan oleh aktifitas tambang. Selain itu dampak secara keuangan serta ketika terjadi konflik terkait politik ekonomi.

 

Secara garis besar Irwandi menilai, akar dari persoalan yang hari ini tengah dirasakan oleh industry pertambangan adalah mandegnya proses revisi UU Minerba. Menurut Irwandi, revisi UU Minerba menjadi alot kemungkinan diakibatkan oleh adanya fundamental isu yang secara faktual tengah terjadi. Diakui oleh Irwandi, UU Minerba saat ini tidak lagi aplikatif dengan kondisi riil industry pertambangan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait