Bermasalah, Pembahasan RUU Minerba Diminta Libatkan Masyarakat
Berita

Bermasalah, Pembahasan RUU Minerba Diminta Libatkan Masyarakat

Koalisi menilai 90 persen substansi RUU Minerba mengakomodir kepentingan perusahaan atau korporasi ketimbang melindungi hak masyarakat, bahkan bisa mengkriminalisasi masyarakat yang menolak atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan di wilayahnya.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Presiden Joko Widodo telah meminta DPR menunda pengesahan empat RUU yaitu RUU Minerba, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, dan RKUHP untuk mendapat masukan dari masyarakat. Kemudian, DPR mengabulkan penundaan empat RUU tersebut dalam rapat paripurna yang digelar Selasa (24/9/2019) kemarin. Lalu, keempat RUU itu bakal disempurnakan dan dibahas kembali oleh DPR dan pemerintahan periode 2019-2024.  

 

Ada satu RUU yang mendapat sorotan dari kalangan Koalisi Masyarakat Sipil, seperti Walhi, Jatam, PWYP, dan Auriga. RUU yang dimaksud yakni RUU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Koalisi mendapat informasi Kementerian ESDM yang mewakili pemerintah telah menyampaikan DIM RUU Minerba kepada Komisi VII DPR. Mereka khawatir pembahasan RUU Minerba terus berjalan, padahal materi muatan RUU Minerba mengabaikan perlindungan lingkungan dan hak masyarakat sekitar.      

 

Manajer Advokasi dan Pengembangan Program PWYP Indonesia Aryanto Nugroho mengingatkan tuntutan mahasiswa dan masyarakat sipil dalam demonstrasi yang mendesak pemerintah dan DPR saat ini bukan hanya sekedar menunda pengesahan keempat RUU itu, tapi mencabutnya. “Pemerintah harus menarik DIM dan DPR menghentikan pembahasan RUU Minerba tersebut,” kata Aryanto dalam diskusi di kantor Walhi Jakarta, Kamis (26/9/2019). Baca Juga: Akhirnya DPR Tunda Pengesahan Empat RUU Ini

 

Aryanto meminta pembahasan RUU Minerba harus ditunda hingga masuk DPR dan pemerntahan periode 2019-2024. Selanjutnya, pembahasan RUU Minerba itu harus melibatkan organisasi masyarakat sipil dan masyarakat yang berada di sekitar lokasi pertambangan.

 

Menurut Aryanto, RUU Minerba sifatnya sangat strategis karena menyangkut hajat hidup orang banyak terutama masyarakat sekitar usaha pertambangan. RUU Minerba juga tidak bisa berdiri sendiri karena harus selaras (sinkron/harmoni) dengan regulasi lain seperti RUU Pertanahan. Dia juga menilai RUU Minerba rentan ditunggangi kepentingan kelompok tertentu dan mengesampingkan perlindungan lingkungan hidup dan hak masyarakat.

 

“Ini terlihat dari salah satu substansi RUU Minerba yang mengatur Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang kontraknya akan habis bisa melakukan perpanjangan tanpa proses lelang dengan luasan yang disesuaikan rencana kerja,” ungkapnya.  

 

Selain itu, ada pasal yang menghilangkan ketentuan yang membatasi luas lahan maksimal yang diberikan pemerintah kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan/atau IUP Khusus (IUPK). Padahal, dalam Pasal 62 UU No.4 Tahun 2009 tentang Minerba secara tegas membatasi luas lahan maksimal yang bisa diberikan/dikuasai pemegang izin yaitu 15 ribu hektar.

Tags:

Berita Terkait