Sartono, Meester in de Rechten di Kursi Pertama Ketua Parlemen Indonesia
Berita

Sartono, Meester in de Rechten di Kursi Pertama Ketua Parlemen Indonesia

Lulus dari Rijksuniversiteit Belanda, Sartono menjadi pengacara handal. Pernah menjadi Pejabat Presiden.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Sketsa wajah Mr Sartono, Ketua DPR RI yang pertama. Ilustrator: HGW
Sketsa wajah Mr Sartono, Ketua DPR RI yang pertama. Ilustrator: HGW

Foto lawas itu masih terpajang di selasar lantai dua gedung IASHT, kampus Universitas Indonesia di Salemba, Jakarta Pusat. Ia sejajar dengan foto pengukuhan beberapa Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Foto lawas yang satu itu diambil usai upacara promosi Gondokoesoemo pada Juni 1922 di Leiden. Gondokoesoemo berhasil mempertahankan disertasinya vernietiging van dorpsbesluiten in Indie. Promotornya adalah akademisi hukum adat terkenal, van Vollenhoven. Acara inaugurasi Gondokoesoemo dihadiri sejumlah mahasiswa hukum Indonesia, sebagaimana terlihat dari foto itu. Antara lain ada Singgih, Boediarto, Zainal Abidin, Iskaq Tjokroadisoerjo, Koesnoen, Soesanto Tirtoprodjo, Koesoemah Atmadja, dan Iwa Koesoema Soemantri. Beberapa nama yang disebut menjadi petinggi bidang hukum di Indonesia pasca kemerdekaan.

Nama lain yang tertera dalam foto itu adalah Sartono. Seperti terpampang dalam foto yang diambil dari buku H. Poeze, in het Land van Overheerser (KITLV, 1986, halaman 164) itu , Sartono duduk duduk di barisan depan. Ini adalah salah satu foto yang merekam perjalanan hidup Sartono, pria yang dalam sejarah Indonesia tercatat sebagai Ketua DPR yang pertama. 

Seperti sebagian besar yang lain dalam foto, nama Sartono tercantum sebagai orang Indonesia pertama yang lulus dari Sekolah Hukum (Rechtsschool). Menyelesaikan pendidikan Rechtsschool pada 1922, Sartono menempati ranking kedua, di bawah Iwa Koesoema Soemantri (pernah menjadi Menteri Sosial).

(Baca juga: Inilah Generasi Pertama Orang Indonesia Lulusan Sekolah Hukum).

Sartono lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, 5 Agustus 1900. Ia memiliki darah ningrat, karena ayah dan ibunya masih keturunan Mengkunegaraan Surakarta. Ayahnya, Raden Mas Martadiharyo adalah pegawai pada Mangkunegaraan. Sartono adalah anak kedua dari tujuh bersaudara. Meskipun dikenal sebagai anak pendiam, Sartono pintar bergaul dan senang belajar, terbukti dari prestasinya sejak sekolah dasar. Ketika lulus dari Europeesche Lagere School (ELS) Surakarta pada 1913, Sartono menempati ranking pertama. Karena itu, ia diterima dengan mudah di Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) di kota yang sama.

Prestasi gemilang itu mengantarkannya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, Sekolah Hukum (Rechtsschool) di Jakarta. 

Dari Rechtsschool ke Leiden

Sebagai tindak lanjut politik etis yang dijalankan Belanda, didirikanlah sekolah keahlian untuk anak-anak pribumi di Hindia Belanda. Pada 26 Juli 1909 didirikan Opleidingsschool voor de Inlandsche Rechtskundigen, yang kemudian dikenal sebagai Rechtsschool. Berdasarkan catatan yang dibuat Soetandyo Wignjosoebroto (1994: 153), sekolah hukum ini hanya beroperasi sekitar 18 tahun karena resmi ditutup pada 1928. Penutupan dilakukan dengan cara tidak menerima siswa baru lagi. Pendidikan keahlian hukum dinaikkan statusnya menjadi Rechtshogeschool (RHS), didirikan di Batavia pada 28 Oktober 1924. Rechtsshool ditutup, tulis Profesor Soetandyo, bukan karena kegagalan melainkan karena suatu pertimbangan yang rasional. Saat itu tahap perkembangan pendidikan di Hindia Belanda sudah memungkinkan berdirinya suatu lembaga pendidikan hukum yang bertaraf lebih tinggi guna memenuhi kebutuhan pemerintahan dan badan peradilan.

Tags:

Berita Terkait