PP E-Commerce Dikritik Pelaku Usaha
Berita

PP E-Commerce Dikritik Pelaku Usaha

Dianggap membuat penyelenggaraan perdagangan secara sistem elektronik kehilangan daya saing, terutama antara pelaku usaha lokal dan asing.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Para pembicara di diskusi hukumonline dengan tema Implementasi Kebijakan Terbaru E-Commerce berdasarkan PP 80 Tahun 2019 (PMSE). Foto: RES
Para pembicara di diskusi hukumonline dengan tema Implementasi Kebijakan Terbaru E-Commerce berdasarkan PP 80 Tahun 2019 (PMSE). Foto: RES

Perdagangan secara elektronik atau yang biasa disebut dengan e-commerce belakangan ini menjadi pilihan baru bagi para pelaku usaha dan konsumen untuk melakukan aktivitas jual beli. Ratusan marketplace muncul seiring dengan meningkatnya usaha-usaha yang berbasis online dibarengi dengan perputaran uang yang cukup besar pada sektor ini.

 

Pemerintah kemudian mencoba untuk mengatur sektor e-commerce ini. Selain dapat memberikan sumbangan pemasukan untuk negara, aturan perlu dilakukan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, serta memberikan kepastian hukum kepada kedua belah pihak. Maka lahirlah PP No.80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

 

Dalam sebuah diskusi bertajuk “Implementasi Kebijakan Terbaru E-Commerce Berdasarkan PP No.80 Tahun 2019 (PMSE)” yang diselenggarkan oleh Hukumonline di Jakarta, Selasa (28/1), Ketua Kebijakan Umum Indonesian E-Commerce Association (idEA) dan Head of Public Policy and Government Relation Bukalapak, Even Alex Chandra, mengatakan beberapa kritiknya terhadap kehadiran PP E-commerce tersebut. Menurutnya, PP ini bersifat ekstrateritorial karena memberikan kewajiban yang sama baik kepada pelaku usaha lokal maupun asing.

 

PP ini menyebut bahwa pelaku usaha yang beraktivitas dengan konsumen di Indonesia dan memenuhi ambang batas terkait dengan jumlah transaksi, nilai transaksi, dan jumlah paket yang dikirim, dan/atau volume lalu lintas atau jumlah pengguna yang ditetapkan akan dianggap tunduk pada PP ini. Setelah ambang batas dipenuhi, maka pelaku usaha asing dianggap memiliki kehadiran fisik di Indonesia dan melakukan kegiatan usaha tetap dalam yuridiksi Indonesia.

 

Namun bagi Even, regulasi ini justru membuat penyelenggaraan perdagangan secara sistem elektronik ini kehilangan daya saing. “Dan pelaku usaha lokal dipaksa bertarung dengan pelaku usaha asing yang secara sengaja menyediakan layanan ke Indonesia,” kata Even.

 

Dalam hal ini tentunya diperlukan perlindungan bagi pelaku usaha lokal untuk menjaga daya saing. Maka dari itu, Even mengatakan pemerintah perlu melakukan deregulasi terutama regulasi yang sifatnya membebani pelaku usaha lokal dengan kewajiban dan perizinan. Di samping itu, pemerintah harus memberikan insentif baik secara materiil seperti pendanaan, tax holiday, Co-working, space dan lain sebagainya, ataupun secara non materiil seperti pembinaan dan pendampingan.

 

Di sisi lain, PP E-commerce ‘membebankan’ sembilan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha e-commerce, beberapa di antaranya kewajiban memiliki izin usaha, kewajiban retensi data, dan kewajiban teknis seperti mengutamakan penggunaan nama domain tingkat tinggi Indonesia (.id).

Tags:

Berita Terkait