Permohonan dengan Jumlah Mahasiswa Terbanyak
Mahasiswa Bergerak

Permohonan dengan Jumlah Mahasiswa Terbanyak

Selain melakukan aksi parlemen jalanan, mahasiswa dari berbagai kampus melawan pelemahan KPK lewat revisi UU No. 30 Tahun 2002.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar/MYS/M-30
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Permahi), M. Andrean Saefudin, memandang permohonan pengujian hasil revisi UU KPK ke Mahkamah Konstitusi sebagai pembejalaran. Sebab, permohonan 190 orang pemohon atas hasil revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi gagal hanya karena kesalahan yang tak perlu terjadi. Pemohon salah merujuk nomor undang-undang. “Ini catatan bagi Permahi,” ujarnya saat dihubungi Hukumonline.

 

Bagi Andrean, gerakan mahasiswa menempuh judicial review ke Mahkamah Konstitusi adalah jalur yang benar antara lain untuk menguji kemampuan dan kelilmuan yang diperoleh di bangku kuliah. Apalagi bagi mahasiswa fakultas hukum, pengalaman mengikuti peradilan semu, seharusnya menjadi bekal untuk ikut bersidang di Mahkamah Konstitusi atau di pengadilan. Error in objecto yang terjadi dalam pengujian hasil revisi UU KPK adalah ‘kesalahan’ yang tak seharusnya terjadi.

 

Ketika DPR dan Pemerintah bersekutu secara politik untuk melakukan revisi UU No. 30 Tahun 2002, sebagian masyarakat menilainya sebagai upaya memperlemah Komisi Pemberantasan Korupsi. Kritik demi kritik dan kekhawatiran yang terungkap ke publik tidak membuat pemerintah dan DPR mundur. Pemerintah dan DPR bergeming sekalipun mahasiswa menggelar demonstrasi di banyak lokasi. Demonstrasi menyebabkan dua mahasiswa Universitas Halu Oleo Kendari kehilangan nyawa. Lalu lintas dan layanan publik di beberapa kota besar terganggu akibat aksi parlemen jalanan tersebut.

 

Namun, ada juga mahasiswa yang menempuh langkah konstitusional. Dari 190 pemohon uji ke Mahkamah Konstitusi, tidak kurang dari 183 pemohon berstatus sebagai mahasiswa. Berdasarkan catatan Hukumonline, inilah permohonan pengujian Undang-Undang dengan pemohon mahasiswa terbanyak. Para mahasiswa itu tersebar dari berbagai kampus di Indonesia. Mulai dari Aceh hingga ke Kalimantan dan Jawa Timur. Tidak hanya mahasiswa Fakultas Hukum, tetapi juga mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Ini menunjukkan betapa massifnya orang yang tergugat dan terganggu hak konstitusionalnya atas revisi UU KPK. 

 

Baca:

 

Permohonan didaftarkan 24 September 2019, dan diperbaiki pada 14 Oktober tahun yang sama, permohonan itu sudah diputus pada November 2019. Artinya, sidang atas permohonan ini berlangsung relatif cepat. Apa yang menyebabkan permohonan diputus cepat? Ini ada kaitannya dengan apa yang dikhawatirkan Andrean tadi.

 

Dalam putusan No. 57/PUU-XVII/2019, Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima karena error in objecto. Para pemohon menyebut hasil revisi UU KPK sebagai UU No. 16 Tahun 2019. Padahal yang benar adalah UU No. 19 Tahun 2019. UU No. 16 Tahun 2019 adalah perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kesalahan menyebut nomor undang-undang inilah yang disebut error in objecto, dan menjadi dasar bagi Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan tidak dapat diterima.

Tags:

Berita Terkait