Pemerintah Fokus Perbaiki Lima Indikator EoDB
Berita

Pemerintah Fokus Perbaiki Lima Indikator EoDB

Salah satu di antaranya adalah soal penyelesaian perkara kepailitan.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pemerintah terus berupaya untuk memperbaiki indeks kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EoDB). Sejumlah perbaikan dilakukan terutama dari sisi regulasi yang dianggap menghambat investasi untuk masuk ke dalam negeri. Hal ini dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo sejak kepemimpinan periode pertama 2014-2019.

 

Kendati demikan, dari laporan Bank Dunia atau World Bank terbaru mengenai EoDB 2020 menyatakan peringkat Indonesia masih stagnan dibandingkan tahun sebelumnya di posisi 73 dari 190 negara. Fakta ini pula yang memicu pemerintah untuk terus memperbaiki perizinan dan sektor lainnya melalui deregulasi sejumlah undang-undang yang digabungkan dalam satu wadah Omnibus Law.

 

Sejalan dengan itu pula, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyampaikan bahwa pemerintah sudah menyiapkan agenda untuk memperbaiki indeks kemudahan berusaha di tahun 2021. Dalam materi Perbaikan Kemudahan Berusaha di Indonesia (EoDB 2021) yang diterima hukumonline, Jumat (14/2), Plt. Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal BKPM, Yuliot, mencatat setidaknya pemerintah akan fokus pada perbaikan di lima kategori.

 

Pertama, indikator getting credit. Pemerintah menggeser agenda RUU Jaminan Fidusia menjadi RUU Jaminan Benda Bergerak, mendorong percepatan penyusunan NA dan RUU Jaminan Benda Bergerak dengan subtansi mengakomodir 6 poin yang belum dipenuhi pada sub-indikator Strenght of Legal Right Index, dan merevisi Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik.

 

Kedua, indikator protecting minority investors.  Pemerintah menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang menegaskan pengaturan tanggung jawab penuh direksi atas kerugian yang ditimbulkan akibat transaksi yang memiliki benturan kepentingan, pengaturan tanggung jawab personal direksi (fiduciary duty) jika terbukti bersalah yang mengakibatkan kerugian perusahaan untuk membayar kerugian perusahaan, menghilangkan opsi pengenyampingan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD), dan perubahan kebijakan tentang komite audit agar secara eksklusiferdiri atas anggota Direksi maupun Anggota Dewan Komisaris (organ pengawas).

 

Aturan tersebut sudah terbit yakni peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/POJK.04/2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 32/POJK.04/2015 tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu.

 

Ketiga, indikator trading across borders. Dalam hal ini, pemerintah melakukan reformasi dengan cara membenahi prosedur, waktu, dan biaya pada setiap tahapan dalam perdagangan antar wilayah (ekspor-impor) melalui pelabuhan Indonesia yang diatur dalam Perdirjen Perhubungan Laut Nomor HK. 103/2/18/DJPL tentang Standar Kinerja Pelayanan Operasional Pelabuhan pada Pelabuhan yang Diusahakan Secara Komersil. Aturan ini sudah berjalan.

Tags:

Berita Terkait