Alasan Force Majeur yang Berimplikasi PHK Karyawan
Utama

Alasan Force Majeur yang Berimplikasi PHK Karyawan

Meski diperbolehkan secara UU, PHK harus dihindari dan merupakan jalan akhir yang diambil pelaku usaha. Pemerintah juga harus memberikan sejumlah insentif kepada pelaku usaha, seperti penangguhan iuran JKN BPJS serta biaya produksi.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Presiden Joko Widodo telah menetapkan pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai status bencana nasional dengan diterbitkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Covid-19. Penetapan status bencana nasional ini memiliki dampak tersendiri bagi dunia usaha karena membuat pelaku usaha kesulitan bahkan tidak mampu memenuhi kewajibannya yang terikat kontrak.

 

Penetapan status bencana nasional ini bisa menjadi alasan kuat bagi setiap pihak tidak mampu memenuhi kewajibannya tersebut yang disebabkan di luar prediksi dan tidak dapat dihindari. Dalam dunia hukum, kondisi ini disebut dengan istilah force majeur atau keadaan kahar.

 

Dalam artikel hukumonline sebelumnya, sejumlah praktisi dan akademisi hukum bahkan sebelum hadirnya Keppres 12/2020 tersebut sudah menyatakan pelaku usaha dapat menggunakan penyebaran Covid-19 sebagai alasan kahar atau force majeur saat tidak mampu memenuhi kewajiban perjanjian. Kuncinya adalah pihak dimaksud mampu memberikan alasan bahwa kegagalan memenuhi perjanjian bukan karena dirinya, melainkan karena sesuatu yang tak dapat diprediksi dan tak dapat dihindari.

 

Lalu, bagaimana implikasi force majeur terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) antara perusahaan dengan karyawan karena hubungan pihak-pihak tersebut juga diikat dalam kontrak? Seperti diketahui, saat ini sudah terdapat perusahaan-perusahaan melakukan PHK dan “merumahkan” karyawannya.

 

(Baca: Penting Diketahui! Alasan-Alasan Force Majeur dalam Yurisprudensi Perdata)

 

Merujuk Pasal 164 ayat 1 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan pengusaha dapat melakukan PHK pekerja/buruh karena perusahaaan tutup yang disebabkaan keadaan memaksa atau force majeur. Kemudian Pasal 164 Ayat 3 UU 13/2003 menambahkan pengusaha juga dapat melakukan PHK pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena kerugian 2 tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa atau force majeur tetapi disebabkan efesiensi.

 

Masing-masing ketentuan PHK seperti yang diatur Pasal 164 Ayat 1 dan 3 UU 13/2003 tersebut mewajibkan pengusaha memberikan pesangon kepada pekerja/buruh seperti yang diatur UU tersebut.

 

Meski terdapat pasal tersebut, PHK merupakan hal yang harus dihindari pelaku usaha. Hal ini seperti imbauan yang disampaikan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Rabu (8/4). “Situasi dan kondisinya memang berat. Tapi inilah saatnya pemerintah, pengusaha dan pekerja bekerja sama mencari solusi (terbaik, red) untuk mengatasi dampak Covid-19,” kata Ida dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (8/4) lalu.

Tags:

Berita Terkait