‘New Normal’: Dampak Dilema Kesehatan dan Kemiskinan bagi Kantor Hukum
Berita

‘New Normal’: Dampak Dilema Kesehatan dan Kemiskinan bagi Kantor Hukum

Beberapa persoalan Covid-19 ini juga terasa semakin serius, terutama pada perekonomian global. Kondisi sulit ini memberikan sejumlah pelajaran yang dapat dipetik untuk mendorong bisnis jasa hukum Indonesia ke depan.

Oleh:
CT-CAT
Bacaan 2 Menit
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi), Prof. Dr. H. Fauzie Yusuf Hasibuan. S.H, M. Hum. Foto: RES.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi), Prof. Dr. H. Fauzie Yusuf Hasibuan. S.H, M. Hum. Foto: RES.

Dengan landasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, Presiden Joko Widodo telah memutuskan opsi Pembatasan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Opsi ini diambil agar penerapan social distancing dan physical distancing terkait situasi pandemi Covid-19 dapat diterapkan secara maksimal. Namun, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi), Prof. Dr. H. Fauzie Yusuf Hasibuan. S.H, M. Hum. mengatakan, meski tanda naik-turunnya dampak Covid-19 belum memadai, pemerintah mulai beralih pada terminologi ‘New Normal’ (atau selanjutnya disebut dengan kenormalan baru).

 

Kenormalan baru sebenarnya merupakan satu cara yang diperkenalkan oleh WHO sejak 12 Maret 2020 untuk mengendalikan aktivitas manusia, setelah periode penanganan Covid-19 sebelumnya dapat diukur dan dikendalikan di berbagai negara. Metode ini berasal dari benua Eropa—manakala WHO telah mengambil kesimpulan secara empiris, bahwa negara-negara di sana telah menunjukkan kemajuan besar dalam penanggulangan dan penanganan Covid-19. Kemajuan tersebut dinilai signifikan, mengingat jumlah kasus sembuh cenderung naik di atas 50%, sedangkan angka kematian dapat diperkecil dengan angka banding sebelumnya melebihi 9,0%.

 

Adapun kondisi tersebut telah menjadi inspirasi sejumlah negara Eropa untuk menghentikan lockdown, melonggarkan pembatasan, dan membuka kembali ruang pertumbuhan ekonomi yang sudah terpuruk. Sebagaimana ditegaskan oleh Direktur Regional WHO untuk Eropa, Hans Henri P.Kluge, panduan penerapan metode ‘kenormalan baru’ yang sama juga akan dipakai sebagai pedoman di wilayah WHO Asia Tenggara.

 

Catatan Fauzie terkait Kebijakan ‘Kenormalan Baru’

Kendati memiliki perbedaan data dan cara, Fauzie menilai, kebijakan Kenormalan Baru yang dicontoh pemerintah Indonesia secara ideal harus dilihat sebagai upaya menjaga keseimbangan dan mempertahankan ketahanan di bidang kesehatan maupun ekonomi. Pada 15 Mei 2020, Presiden Jokowi menyebutnya sebagai suatu keniscayaan dan merupakan pilihan sulit dengan banyak risiko. Tidak terkecuali, risiko gagal dan justru memperburuk keadaan.

 

Hanya saja, menurut Fauzie, pada kenyataannya di Indonesia, Covid-19 telah memberikan dampak yang begitu besar. Ditambah, meski disusun dan terinspirasi dari pola transmisi dan virulensi (keganasan) Covid-19 yang dituangkan ke dalam satu kebijakan yang terukur, kebijakan ‘New Normal’ akan berhadapan dengan masalah kesehatan seperti gangguan kejiwaan, mental, komplikasi penyakit penyerta (komorbid), hingga risiko penyakit kronis/tidak menular seperti jantung, paru, ginjal, diabetes, dan lain-lain yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dan ruang konsultasi dokter. “Efek Covid-19 telah merusak tatanan pergerakan ekonomi nasional yang kemudian memicu proses kemiskinan kota dan desa yang hari kehari menjerit mencari kepastian besok harus makan mendapatkan dari mana? Belum habis jeritan yang satu, datang lagi teori baru ‘New Normal’.

 

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Suharso Monoarfa berteori, krisis Covid-19 memerlukan unprecedented policies. Ini adalah kebijakan yang belum pernah terjadi sebelumnya, di mana kebijakan pemutusan sebaran virus dikombinasikan dengan kebijakan ekonomi. “Kecepatan pemulihan ekonomi tergantung kepada kombinasi kebijakan yang pas antara kebijakan pemutusan sebaran virus yang mematikan dan intervensi kebijakan ekonomi,” tutur dia.

 

Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data ketenagakerjaan terkini dan menemukan bahwa tingkat pengangguran pada Februari 2020 berada di bawah lima persen atau terendah sejak era 1990-an. Namun, keadaan telah berubah drastis seiring banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan atau usahanya terhenti akibat pembatasan sosial mulai Maret 2020. BPS lantas mencatat, jumlah pengangguran terbuka mencapai 6,68 juta orang pada Februari 2020. Ini artinya, tingkat pengangguran adalah 4,8% dari total angkatan kerja yang sebanyak 137,91 juta orang.    

Tags:

Berita Terkait