Perludem Perkuat Argumentasi Uji Ambang Batas Parlemen
Berita

Perludem Perkuat Argumentasi Uji Ambang Batas Parlemen

Mulai perubahan legal standing, dasar-dasar kontitusional, hingga konsepsi penyederhanaan partai.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Rabu, (12/8/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi Nomor 48/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Pemohon mempermasalahkan konstitusionalitas Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu.

Pada sidang kedua perbaikan permohoan ini, Titi Anggraeni selaku perwakilan Perludem menyebutkan ada perubahan kepengurusan, sehingga pengurus yayasan memberikan kewenangan pada Ketua Perludem untuk mewakili yayasan di dalam dan luar pengadilan.  “Demikian perubahan legal standing Pemohon akibat dari adanya pengubahan pada Aktanya dan AD/ART Yayasan,” ucap Titi yang didampingi oleh Fadli Ramadhanil selaku kuasa hukum lainnya.

Pasal yang diuji adalah Pasal 414 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 yang berbunyi: “Partai Politik Peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR”. 

Berkaitan dengan permohonan tentang ambang batas parlemen, Fadli melanjutkan bahwa Pemohon mengajukan Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 Ayat (1), dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 sebagai dasar-dasar konstitusional. Melalui pasal-pasal tersebut, Pemohon memperkuat argumentasi dasar konstitusional yang berbeda dari lima Pemohon sebelumnya yang pernah mengajukan perkara serupa.

“Dalam permohonan ini pasal pengujian yang kami ajukan tidak sama dengan yang digunakan para pemohon perkara sebelumnya," ujar Fadli di hadapan Majelis Panel Hakim yang terdiri dari Hakim Konstitusi Saldi Isra, Wahiduddin Adams, dan Arief Hidayat.

Perbaikan berikutnya, Pemohon juga memperkuat argumentasi dalam hal konsepsi penyederhanaan kepartaian. Menurut Pemohon, penyederhanaan ini tidak hanya dilihat dari jumlah partai saja, melainkan pada distribusi dan pengalokasian kursi dalam parlemen. Sehingga, sistem multipartai dapat terbagi atas sistem multipartai moderat dengan jumlah partai relevan yakni tiga sampai lima partai; dan sistem multipartai ekstrem dengan jumlah partai lebih dari lima.

“Maka ambang batas tidak mampu membangun penyederhanaan partai di Indonesia,” jelas Fadli.

Dalam persidangan sebelumnya, Pemohon menilai ambang batas secara sederhana didefinisikan sebagai syarat minimal perolehan suara yang harus diperoleh partai politik peserta pemilu agar bisa diikutkan di dalam pembagian kursi di DPR. Terkait dengan pengujian konstitusionalitas ambang batas parlemen ke MK, sejatinya telah terdapat lima putusan MK sejak 2009 hingga 2018.

Dalam permohonan ini, Pemohon lebih menitikberatkan pada rumusan 4 persen yang dijadikan pengaturan ambang batas parlemen dan pengaturan sistem pemilu proporsional dalam Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu. Dengan adanya aturan ini, banyak suara yang terbuang akibat pengaturan ambang batas yang tidak dirumuskan secara tepat. sehingga melahirkan inkonsistensi pengaturan pemilu proporsional.

Sehubungan dengan perolehan hasil pemilu proporsional, Pemohon melihat ada keterhubungannya dengan ketentuan ambang batas parlemen yakni menjadi salah satu variabel dari sistem pemilu. Ada rumus matematika pemilu yang secara praktik digunakan para ahli dan praktisi yang mendalami politik, pemilu, dan sistem pemerintahan.

Dengan demikian, agar ambang batas parlemen tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas, maka perlu dipertanyakan argumentasi dasar pembentuk undang-undang menetapkan besaran 4 persen yang termaktub dalam UU Pemilu yang mengakibatkan banyak suara yang terbuang.

Tags:

Berita Terkait