Jalan Tengah Hukuman Pidana Mati ala Profesor Muladi
Berita

Jalan Tengah Hukuman Pidana Mati ala Profesor Muladi

Gagasan mengenai jalan tengah ini sudah diakomodasi dalam RUU KUHP.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi hukuman mati yang dijatuhkan hakim. Ilustrator: BAS
Ilustrasi hukuman mati yang dijatuhkan hakim. Ilustrator: BAS

Pakar hukum pidana yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Muladi, menyampaikan gagasan tentang ‘Indonesian way’, sebagai jalan tengah pengaturan pidana mati di Indonesia. Jalan tengah ini merupakan solusi terhadap perdebatan panjang antara kelompok yang menyetujui (pro) dan menolak (kontra) hukuman mati. Dua kelompok ini bukan hanya ada di Indonesia, tetapi juga di belahan dunia.

“Pidana mati dianggap tidak efektif menekan kejahatan”, kata Muladi saat menjadi pembicara webinar dalam rangka silaturrahim Ikatan Alumni Program Doktor Hukum Universitas Diponegoro, Sabtu (17/10). “Pidana seumur hidup lebih manusiawi “, sambungnya.

‘Indonesian way’ yang dimaksud Menteri Kehakiman (1998-1999) itu adalah pidana mati bersyarat. Seseorang yang dijatuhi hukuman mati diberikan masa percobaan selama 10 tahun. Jika terpidana menunjukkan rasa menyesal atau ada alasan yang meringankan, maka hukumannya diubah menjadi seumur hidup. Bagaimana caranya? Prasyarat mengubah jenis hukuman itu harus dicantumkan dalam putusan pengadilan. Jika syaratnya terpenuhi maka perubahan hukuman terpidana mati dituangkan dalam Keputusan Presiden. Tetapi, harus didahului pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung. “Pidana mati bersyarat merupakan solusi jalan tengah,” ujarnya.

(Baca juga: Hukuman Mati Jadi Pidana Alternatif, Ini Kekhawatiran Aliansi).

Jalan tengah ini merupakan ius constituendum sebagai usaha harmonisasi pandangan mereka yang ingin tetap mempertahankan hukuman mati (retentionist) dan kelompok yang ingin menghapuskannya (abolisionist). Alasan yang dikemukakan oleh masing-masing kelompok beragam, termasuk di Indonesia. Mereka yang menentang hukuman mati beralasan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang tak dapat dicabut (non-derogable right); pidana mati dihindari guna menghindari kesalahan dan peradilan sesat;sistem peradilan pidana masih lemah; tujuan pemidanaan tidak boleh menderitakan dan merendahkan martabat kemanusiaan; hukuman mati merupakan langkah mundur promosi dan perlindungan hak asasi manusia serta konsolidasi demokrasi; inkonstitusional; dan tidak efektif menekan kejahatan atau tidak menimbulkan efek jera.

Sebaliknya mereka yang setuju berargumen Pancasila harus dilihat secara menyeluruh; agama membenarkan hukuman mati; sistem peradilan pidana merupakan masalah kedaulatan nasional; hukuman mati merupakan refleksi tuntutan pembalasan dan people condemnation; perhatian pada korban; perkembangan tindak pidana berat baik kualitas maupun kuantitasnya.

Muladi menjelaskan bahwa gagasan ‘Indonesian way’ ini telah diakomodasi dalam RUU KUHP yang sedang disusun. Pasal 100 RUU KUHP mencantumkan pidana mati bersyarat dengan masa percobaan 10 tahun. Terpidana dapat lolos dari eksekusi mati jika menunjukkan penyesalan, ada faktor yang meringankan, atau ternyata peran terdakwa dalam tindak pidana tidak terlalu penting.

RUU KUHP juga mengubah posisi pidana mati dalam jenis-jenis hukuman. Pidana mati tidak tercantum dalam stelsel pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus, yang selalu diancamkan secara alternatif. Artinya, pidana mati adalah alternatif terakhir. “Pidana mati merupakan upaya terakhir”, tegas Muladi.

Tags:

Berita Terkait