Membedah Klaster Perpajakan dan Investasi dalam UU Cipta Kerja
Berita

Membedah Klaster Perpajakan dan Investasi dalam UU Cipta Kerja

IKHAPI kembali menggelar Pendidikan Profesi Berkelanjutan (PPL) bertema ‘UU Cipta Kerja, Klaster Perpajakan dan Investasi’.

CT-CAT
Bacaan 2 Menit
PPL bertema ‘UU Cipta Kerja, Klaster Perpajakan dan Investasi’ yang digelar IKHAPI pada Selasa (22/12).
PPL bertema ‘UU Cipta Kerja, Klaster Perpajakan dan Investasi’ yang digelar IKHAPI pada Selasa (22/12).

Selasa (22/12), Ikatan Kuasa Hukum dan Advokat Pajak Indonesia (IKHAPI) kembali menggelar Pendidikan Profesi Berkelanjutan (PPL) bertema ‘UU Cipta Kerja, Klaster Perpajakan dan Investasi’. PPL daring dengan aplikasi Zoom Meeting ini menghadirkan dua narasumber, yakni Joyada Siallagan, S.E., S.H., M.H., CTA., CITA yang juga selaku Presiden IKHAPI dan Hotmarojahan Sitanggang, S.E., CTA., CITA.

 

PPL terbagi atas dua sesi. Pada sesi pertama, Joyada memberikan gambaran umum tentang klaster Perpajakan dan Kemudahan Berusaha yang terdapat dalam UU Cipta Cipta Kerja. Ini termasuk peran para praktisi pajak dalam memberikan masukan, sebab ada banyak aturan-aturan pelaksana yang sebenarnya masih dalam tahap pengerjaan.

 

Adapun menurut Joyada, UU Cipta Kerja memiliki tujuan untuk mendorong perekonomian Indonesia. Dalam hal perpajakan, setidaknya tujuan ini akan tercapai melalui empat klaster, di antaranya (a) mendorong pendanaan investasi, (b) mendorong kepatuhan wajib pajak dan wajib bayar secara sukarela, (c) meningkatkan kepastian hukum, dan (d) menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri. “Nantinya, seluruh poin itu akan memiliki aturan pelaksana maupun cara praktik di lapangan. Semuanya sedang digodok untuk mempersingkat dan mempermudah wajib pajak dalam hal pembayaran pajak. Itu sebabnya, kita juga dapat berperan sebagai agen yang memberikan masukan terhadap Dirjen Pajak,” kata Joyada.

 

Momentum Percepatan Reformasi Pajak

Sementara itu, pada sesi dua, Hotmarojohan membedah empat poin tersebut secara teknis, berdasarkan pasal demi pasal. Pada poin (a) misalnya, terbagi atas penghapusan PPh atas deviden dari dalam negeri, pengenaan non-objek PPh, penyesuaian tarif PPh Pasal 26 atas bunga, hingga penyertaan modal dalam bentuk aset tidak terutang PPN. Poin (b) melalui relaksasi hak pengkreditan Pajak Masukan (PM) bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan pengaturan sanksi administrasi maupun imbalan bunga. Poin (c) melalui penentuan Subjek Pajak Orang Pribadi, pengaturan penyerahan BKP, hingga penerbitan masa kedaluwarsa STP. Poin (d) melalui pencantuman NIK Pembeli yang tidak memiliki NPWP dalam faktur pajak.

 

Hotmarojahan juga menjelaskan, setidaknya terdapat tiga pasal dalam UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuan, seperti Pasal 111 (mengubah beberapa ketentuan dalam UU PPh: Pasal 2, 4, dan 26); Pasal 112 (mengubah beberapa ketentuan dalam UU PPN: Pasal 1A, 4A, 9, dan 13); serta Pasal 113 (mengubah beberapa ketentuan dalam UU KUP: PASAL 8, 9, 11, 13, 14, 15, 17B, 19, 38, 44B; menghapus pasal 13A dan 27A, serta menyisipkan pasal 27B). Selain itu, pada UU Cipta Kerja pemerintah pusat juga memberikan porsi bagi pemerintah daerah untuk menjangkau sendiri investasi yang ada di daerah.

 

Adapun Hotmarojohan mengatakan, pembahasan klaster pajak UU Cipta Kerja sendiri menjadi momentum percepatan reformasi perpajakan, yang mencakup beberapa perubahan sistem secara signifikan seperti pembenahan administrasi, perbaikan regulasi, dan peningkatan basis pajak. “Reformasi pajak dilakukan untuk meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan dan memaksimalkan manfaat ekonomi dan sosial yang didapat melalui pajak. untuk mengurangi penggelapan pajak, penghindaran pajak, pemungutan yang lebih efisiensi dan adil, sehingga dapat membiayai pembangunan sarana publik. Ini juga akan turut meningkatkan pendapatan secara berkelanjutan,” ia menambahkan.

 

Artikel ini merupakan kerja sama antara Hukumonline dengan Ikatan Kuasa Hukum dan Advokat Pajak Indonesia (IKHAPI).

Tags:

Berita Terkait