Ini Alasan Perlunya UU Perlindungan Konsumen Segera Direvisi
Berita

Ini Alasan Perlunya UU Perlindungan Konsumen Segera Direvisi

Era digital membuka peluang terjadinya pelanggaran data pribadi konsumen hingga penipuan.

Oleh:
Mochammad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi perlindungan konsumen di era digital. HGW
Ilustrasi perlindungan konsumen di era digital. HGW

Semakin masifnya penggunaan teknologi digital dalam aktivitas masyarakat berbanding lurus terhadap risiko pelanggaran konsumen. Berbagai bentuk pelanggaran konsumen seperti penyalahgunaan, peretasan atau kebocoran data pribadi hingga penipuan marak terjadi pada industri digital.

Atas kondisi tersebut, peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Siti Alifah Dina, mengatakan, pemerintah perlu merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena UU ini belum memasukkan ekosistem ekonomi digital di dalamnya. Padahal kegiatan ekonomi digital yang melibatkan penyedia jasa dan layanan serta konsumen juga membutuhkan adanya payung hukum terkait perlindungan konsumen.

Perlindungan diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan konsumen dalam bertransaksi. Walaupun UU Nomor 11 Tahun 2008 dan Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta peraturan turunannya sudah mengatur transaksi digital, masih terdapat beberapa aspek yang belum diatur.

Ia mencontohkan aspek yang belum diatur seperti isu-isu terkait kegiatan re-selling, peran pihak ketiga atau intermediary parties, jumlah dan jenis data yang boleh dikumpulkan penyelenggara, dan transaksi lintas negara termasuk resolusi konflik lintas negara, Karakteristik tadi, lanjutnya, belum dibahas dalam UU Perlindungan Konsumen maupun UU ITE.

Selain itu, revisi ini juga dibutuhkan untuk mengatasi celah pada Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Contohnya adalah agar mengecualikan produk yang dipersonalisasi (personalized products) dan produk lekas busuk (perishable products) dari kebijakan pengembalian dan meringankan persyaratan perizinan yang rumit sehingga melebihi kapasitas perusahaan mikro dan perusahaan kecil. (Baca: Mengulas Sanksi Pelaku Penipuan di Kasus Online Shop Grab Toko)

“Ekosistem ekonomi digital tumbuh dan memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi perekonomian nasional. Untuk itu, upaya perlindungan konsumen perlu diperkuat lewat payung hukum yang ada. Karakteristik transaksi online dengan offline berbeda di mana transaksi online dilakukan tanpa menginspeksi, menguji, dan mengevaluasi barang dan layanan sebelum transaksi, sehingga banyak terjadi konsumen dihadapkan kondisi kontrak yang kurang adil karena ketentuan take it or leave it dari pelaku usaha online,” jelas Dina.

Selain UU Perlindungan Konsumen, Dina juga menemukan bahwa regulasi saat ini belum mampu menjamin adanya lingkungan digital yang aman bagi konsumen. Contohnya, pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) dan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU Siber) masih berlangsung. RUU PDP yang ditargetkan selesai tahun lalu dimundurkan menjadi kuarter pertama 2021. Padahal setelah disahkan pun, implementasi UU ini juga masih membutuhkan waktu karena membutuhkan adanya peraturan turunan yang lebih teknis.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait