MPR Kembali Wacanakan ‘Haluan Negara’ Masuk dalam Amandemen UUD Tahun 1945
Terbaru

MPR Kembali Wacanakan ‘Haluan Negara’ Masuk dalam Amandemen UUD Tahun 1945

Tak ada wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode ataupun perubahan sistem presidensial. Namun cenderung pada penambahan ayat pada dua pasal yakni Pasal 3 dan Pasal 23, serta menghidupkan kembali GBHN sebagai acuan dalam pembangunan nasional.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terus bekerja dalam merancang rumusan norma dalam Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Rancangan tersebut pun tak lepas dari upaya mengamandemen kelima secara terbatas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Nantinya terdapat perubahan dalam beberapa pasal dalam konstitusi terbatas.

Ketua MPR Bambang Soesatyo berpendapat perubahan terhadap beberapa pasal akibat konsekuensi dari amandemen terbatas konstitusi. Seperti penambahan satu ayat pada Pasal 3. MPR memang memiliki kewenangan mengamandemen konstitusi sebagaimana dalam Pasal 3 ayat (1) yang menyebutkan, “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”.

Selain itu, penambahan satu ayat pada Pasal 23 UUD 1945. Menurutnya, Pasal 23 mengatur kewenangan DPR menolak RUU Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang diajukan presiden pasca 2024, sepanjang tak sesuai dengan PPHN. Aturan Ketidaksetujuan DPR terhadap APBN yang disusun pemerintah memang telah diatur dalam Pasal 23 ayat (3). Namun perlu pengaturan alasan sebagai parameter atas ketidaksetujuan terhadap APBN yakni bila tak sejalan dengan PPHN.

“Selain itu tidak ada penambahan lainnya dalam amandemen kelima UUD NRI 1945. Termasuk, wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode ataupun perubahan sistem presidensial,” ujarnya melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Senin (10/5/2021) kemarin.

Bagi pria biasa disapa Bamsoet itu, pasca amandemen keempat konstitusi, fungsi Garis Besar Haluan Negara (GBHN) digantikan dengan dua UU. Pertama UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Kedua, UU No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Sementara penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) berlandaskan visi dan misi calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih. 

Melalui penerapan kedua UU tersebut malah berdampak terhadap ketiadaan jaminan selama satu periode pemerintahan bakal melanjutkan pembangunan yang telah dilakukan rezim pemerintahan periuode sebelumnya. Baginya, ketiadaan PPHN menyebabkan ketidakselarasan pembangunan nasional dengan daerah. Sebab, sistem perencanaan pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) tidak terikat untuk mengacu RPJMN.

“Visi dan misi gubernur/bupati/walikota sangat mungkin berbeda dengan visi dan misi presiden dan wakil presiden terpilih. Demikian juga dengan visi dan misi gubernur/bupati/walikota diantara berbagai daerah lainnya,” katanya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait