Perpres Pengadaan Tanah Lebih Kejam Dari Aturan Sebelumnya
Utama

Perpres Pengadaan Tanah Lebih Kejam Dari Aturan Sebelumnya

Perpres No.36/2005 dinilai bisa menjadi alat efektif untuk penggusuran

Oleh:
Gie
Bacaan 2 Menit
Perpres Pengadaan Tanah Lebih Kejam Dari Aturan Sebelumnya
Hukumonline

 

Padahal Tap MPR No.5/2003 telah menggarisbawahi pembentukan lembaga khusus untuk menangani konflik agraria maupun membuat aturan untuk mengatasi konflik agraria. Jangankan pengaturan konflik, kehadiran Perpres 36/2005 justru menghadirkan konflik baru termasuk melegitimasi penggusuran tanah yang masih menjadi persoalan sampai saat ini.

 

Sampai saat ini berdasarkan data KPA tercatat 1148 kasus sengketa agraria yang tersebar di seluruh Indonesia. Sedangkan dari jumlah tersebut baru 154 kasus yang berhasil diselesaikan. Dari daftar konflik yang ada ternyata juga memperlihatkan ribuan jiwa menjadi korban.

 

Dalam Perpres, juga diatur bahwa masyarakat yang keberatan tanahnya diambil dapat menyelesaikannya di pengadilan. Namun penyelesaian tersebut terbatas hanya pada ganti rugi semata. Pengadilan dalam hal ini dititipkan uang pengganti oleh panitia pengadaan tanah bagi mereka yang tidak puas dengan jumlah ganti rugi yang telah ditetapkan.

 

Mengenai hal tersebut, Munarman menilai peran pengadilan disini tidak berimbang nantinya. Sebab, pengadilan sudah terlebih dahulu dititipkan uang pengganti yang sudah menjadi sumber permasalahan.

 

Kepentingan umum

Perlu disampaikan ada satu poin penting dalam Perpres, bahwa sengketa tentang pengambilalihan hak atas tanah ternyata tidak bisa diselesaikan melalui jalur hukum karena presiden mempunyai kewenangan untuk mencabut hak atas tanah, mau tidak mau.

 

Perpres ini juga mengatur perluasan objek pembangunan untuk kepentingan umum bila dibandingkan Keppres No.55/1993. Namun nyatanya objek kepentingan umum juga didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat dikelola swasta dan menghasilkan keuntungan.

 

Sebut saja seperti jalan tol yang pengelolaannya ada di tangan PT Jasa Marga ataupun pipanisasi dan pengadaan jaringan telepon. Objek-objek tersebut sudah jelas dikelola secara mandiri oleh swasta.

 

Perluasan objek hingga keluarnya Perpres ini disinyalir merupakan tindak lanjut dari infrastructur summit yang diadakan beberapa waktu lalu. Sudah jelas pula keuntungannya untuk siapa.

3 Mei kemarin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No.36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Perpres ini merupakan revisi dari Keppres No.55 Tahun 1993 yang juga membahas masalah yang sama.

 

Namun dibandingkan dengan Keppres No.55/1993, isi Perpres ini dinilai sebagian kalangan justru lebih kejam dari Keppres yang dikeluarkan di rezim Suharto. Sebab, Perpres yang rancangannya sudah selesai sejak Februari lalu ini mengubah beberapa hal yang krusial sifatnya.

 

Direktur YLBHI Munarman mengkritisi isi Perpres mengenai pengadaan tanah yang dapat dilaksanakan pemerintah dengan dua macam cara, yaitu pelepasan hak dan pencabutan hak. Mengenai pencabutan hak atas tanah, tidak diatur sebelumnya di Keppres No.55/1993.

 

Keleluasan presiden untuk mencabut hak atas tanah apabila tidak tercapai kesepakatan antara pemilik tanah dengan panitia pengadaan tanah tersebut dilalui dengan proses dinilai yang cukup instan. Bagaimana tidak, sesuai Perpres hanya perlu waktu 90 hari untuk menyelesaikan prosesnya.

 

Deputi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Usep Setiawan mengkhawatirkan adanya pencabutan hak akan menjadi legitimasi bagi pemerintah untuk lebih represif dalam proses pembebasan tanah. Sehingga potensi adanya konflik agraria akan semakin terbuka.

Halaman Selanjutnya:
Tags: