Kepemilikan Saham oleh Karyawan Pers Tidak Mutlak
Berita

Kepemilikan Saham oleh Karyawan Pers Tidak Mutlak

Meski diatur oleh UU Pers, kepemilikan saham oleh karyawan pers bukan sebuah keharusan. Yang penting, perusahaan harus bersemangat menyejahterakan karyawannya.

CRY
Bacaan 2 Menit
Kepemilikan Saham oleh Karyawan Pers Tidak Mutlak
Hukumonline

 

Leo Batubara, Ketua Serikat Penerbit Suratkabar Indonesia (SPS), menjelaskan, Pembagian saham kepada karyawan bukan kewajiban bagi perusahaan pers. Yang paling penting, perusahaan wajib menyejahterakan wartawan dan karyawan persnya.

 

Leo, yang juga terlibat langsung dalam penggodokan undang-undang ini, lebih lanjut menguraikan bahwa di era reformasi saat ini, banyak perusahaan pers yang berkecambah. Namun, selanjutnya, banyak pula yang gulung tikar. Saat ini, setiap orang bebas membuat sebuah media tanpa perlu mohon izin. Konsekuensinya, posisi dan daya tawar wartawan lemah.

 

Leo, yang juga Anggota Dewan Pers, menerangkan, pada Agustus-September 1999, di saat undang-undang pers ini sedang difinalisasi, media Berita Yudha limbung dan akhirnya tutup. Padahal, pemilik sudah menyuntik Rp 6-8 miliar investasi baru. Karyawan pun banyak berunjuk rasa meminta pesangon. Peristiwa inilah yang menjadi pertimbangan. Nah, jika perusahaan sudah gulung tikar, apakah karyawan juga mau menanggung renteng kerugian?

 

Dihubungi terpisah, Ketua Divisi Serikat Pekerja Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Ulin Niam Yusron berpendapat lain. Dia berujar bahwa karyawan pemegang saham tak perlu menanggung kerugian. Artinya, pembagian saham kepada karyawan sifatnya sukarela dari pihak pengusaha. Kalau perusahana rugi yang nanggung masih pengusaha itu sendiri. Lagipula, kepemilikan saham juga merupakan bentuk partisipasi karyawan dalam menentukan jalannya roda bisnis perusahaan, tegasnya.

 

Leo sepakat kepemilikan saham dapat menjadi saluran aspirasi. Namun dengan catatan, Kondisi dan kualitas si jurnalis harus bagus. Itu yang menjadi daya tawar si karyawan.

 

Leo mencontohkan Majalah Tempo yang kala itu didirikan dari dana Ibrahim Muhammad dan Ciputra –sebelum dibredel pada tahun 1994. Karena Tempo memiliki sejumlah wartawan yang berkualitas –misalnya Goenawan Mohammad, para karyawan dan jurnalisnya dapat terlibat dalam penentuan keputusan perusahaan.

 

Leo juga menambahkan, sebenarnya pada era sebelum 1999, sudah banyak media yang membagi sahamnya kepada karyawan. Angka 20% itu angka minimal. Masing-masing media bisa memberi lebih, lanjutnya. Beberapa media yang disebut antara lain Pikiran Rakyat, Suara Pembaruan, dan Suara Karya.

 

Sayang, setelah era reformasi, di mana keran kebebasan pers makin terbuka, persaingan antar media pun makin sengit. Akibatnya, Pembagian saham kepada karyawan makin susah dilakukan. Saya kira media-media yang dulunya sanggup mengalokasikan 20% atau lebih, mengurangi porsinya pada saat ini, tutur Leo.

 

Tengok lagi kesepakatan bersama

Baik Leo maupun Ulin senada, bahwa semuanya harus terpulang pada kesepakatan bersama antara karyawan dan perusahaan. Jika dalam kesepakatan kerja bersama (KKB) tersebut mengatur kepemilikan saham, itu baru wajib dijalankan, ujar Leo. Jika tidak diatur dalam KKB, berarti bukan kewajiban pengusaha membagi saham kepada karyawan.

 

Disinggung seperti apa teknisnya, Leo mencontohkan saham tersebut bisa dimiliki oleh koperasi karyawan. Karyawan yang berhak menikmati saham, menurut Leo, bisa saja yang sudah mengabdi selama 4 tahun atau 6 tahun ke atas. Atau, Bonus karyawan yang berupa uang bisa dialihkan dalam bentuk saham. Saya kira itu lebih baik, biar karyawan sendiri yang memilih bentuk bonusnya, tuturnya.

 

Karena praktik kepemilikan saham ini masih sulit dilakukan, kebanyakan perusahaan pers membagikan keuntungan perusahaan dalam bentuk bonus. Sekali lagi, semangatnya adalah menyejahterakan karyawan pers, pungkas Leo.

Masih berkaitan dengan pemecatan wartawan senior Harian Umum Kompas, Bambang Wisudo. Mengulangi pernyataannya tempo lalu, Bambang berujar, Pemecatan saya karena aktivitas saya di serikat pekerja yang memperjuangkan warisan saham.

 

Bambang mengatakan sebenarnya ada warisan 20% saham bagi karyawan PT Kompas Media Nusantara, perusahaan penerbit Harian Kompas. Hal itu dijanjikan oleh pendiri Kompas, PK Ojong, sejak 1980. Saham tersebut disalurkan ke Yayasan Kompas Gramedia Sejahtera.

 

Hanya, dalam perkembangannya, pihak serikat pekerja dan manajemen sepakat tidak membahas lagi kepemilikan saham oleh karyawan. Dalam kesepakatan itu (13/9), manajemen hanya bersedia membagi 20% dividen yang dibagikan, di luar laba yang ditahan (retained earnings).

 

Saham Hak Mutlak?

Jika kita menilik Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, di sana terdapat salah satu pasal yang mengatur kepemilikan saham oleh karyawan. Namun, pasal ini tak tegas. Tak ada kata wajib dalam pasal itu.

 

 

BAB IV PERUSAHAAN PERS

Pasal 10

Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.

 

Penjelasan Pasal 10

Yang dimaksud dengan bentuk kesejahteraan lainnya adalah peningkatan gaji, bonus, pemberian asuransi dan lain-lain.

 

Pemberian kesejahteraan tersebut dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara manajemen perusahaan dengan wartawan dan karyawan pers.

 

Halaman Selanjutnya:
Tags: