Gara-gara UU Ketenagakerjaan, UKM Tumbuh Pesat
Berita

Gara-gara UU Ketenagakerjaan, UKM Tumbuh Pesat

Jumlah UKM makin menjamur. Pemicunya banyak pengusaha yang memangkas jumlah karyawannya akibat terlalu berat menerapkan UU Ketenagakerjaan. Deperin terlambat mengantisipasinya.

CRY
Bacaan 2 Menit
Gara-gara UU Ketenagakerjaan, UKM Tumbuh Pesat
Hukumonline

 

Namun, Aviliani, yang juga Komisaris Bank BRI, mengingatkan, Dalam jangka pendek hal ini bagus karena mampu menampung angka pengangguran. Namun, dalam jangka panjang, daya saing harus diperhatikan. Kita menginginkan sektor UKM maupun industri besar dapat berjalan beriringan.

 

Aviliani mengaku kesal, hingga kini Departemen Perindustrian belum punya gambaran industri unggulan. Kebijakannya kurang terarah. Mengunggulkan pertanian juga tak ada program yang jelas, tuturnya.

 

Aviliani menegaskan, seharusnya UKM dipayungi oleh dua jenis kebijakan, yaitu kebijakan fiskal dan iklim industri. Kebijakan fiskal mencakup insentif pajak. Misalnya di sektor perkebunan, dibebaskan pajak pada lima tahun pertama saat membuka usaha. Atau dikenal dengan kebijakan tax holiday, ujarnya.

 

Untuk kebijakan iklim industri, menurut Aviliani, pemerintah harus memperpendek jalur birokrasi. Dengan demikian, investor asing bakal tertarik masuk. UKM juga harus dilindungi dari gencarnya produk impor murah, sambungnya.

 

Departemen Perindustrian mencatat, pada tahun 2004 UKM menyerap lapangan kerja 8.118.590 orang. Lalu berturut-turut meningkat pada 2005 (tumbuh 4,27 persen) dan 2006 (tumbuh 4,6 persen) menjadi 8.465.010 orang serta 8.854.400 orang. Jumlah unit usaha IKM juga meningkat pesat. Jika pada 2005 hanya tumbuh 3,48 persen kini menjadi 3.283.490 unit, pada tahun ini tumbuh 4,6 persen menjadi 3.434.531 unit. Sektor UKM juga sukses mendulang angka ekspor AS$ 8,65 miliar.

 

Membludaknya jumlah UKM ini nampaknya menjadi permasalahan tersendiri bagi Departemen Perindustrian. Untuk menyiasatinya, Departemen Perindustrian akan bekerja sama dengan pihak luar. Kami akan menggandeng sejumlah konsultan bisnis dari pihak swasta, para akademisi dari dunia pendidikan, atau para LSM yang terjun di bidang pengembangan UKM, lanjut Sakri.

 

Kondisi seperti itu, menurut Sakri, akan makin menyuburkan UKM. Makanya, Tahun 2007 kami canangkan sebagai Tahun UKM, ujarnya. Meski belum memaparkan secara rinci, Sakri mengutarakan akan menerbitkan paket insentif dan kebijakan pemberdayaan UKM. Tujuannya, Untuk membuka akses bagi UKM, baik akses pembiayaan, akses pasar, maupun pengembangan ekonomi pedesaan. Yang menjadi titik berat adalah masalah pembiayaan bagi sektor UKM, sambungnya.

 

Yah, kita tunggu saja. Semoga Pemerintah kali ini tak hanya jual kecap kepada UKM.

Keterlambatan mengantisipasi membludaknya jumlah Usaha Kecil dan Menengah (UKM) ini diakui Departemen Perindustrian (Deperin) karena terbatasnya anggaran yang tersedia. Untuk tahun anggaran 2007, Ditjen IKM hanya memperoleh anggaran sebesar Rp 481,8 miliar.

 

Padahal, anggaran yang terbilang kecil ini akan digunakan untuk merealisasikan semua program, khususnya menambah jumlah karyawan Deperin yang bertugas membina para UKM ini. Dengan anggaran yang ada sekarang ini kami kesulitan membina UKM yang jumlahnya membludak itu, ujar Dirjen Industri Kecil dan Menengah (IKM) Departemen Perindustrian Sakri Widhianto kepada wartawan usai paparan publik di Jakarta, akhir pekan lalu.

 

Sakri mengakui bahwa tumbuhnya jumlah UKM gara-gara penerapan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Banyak perusahaan yang merasa berat memenuhi hak kesejahteraan para karyawannya, ujarnya. Misalnya, untuk memenuhi ketentuan Jamsostek, perusahaan yang mempekerjakan 5.000 karyawan harus merogoh kocek setidaknya Rp 400 juta sebulan atau Rp 80 ribu per orang per bulan. Iuran Jamsostek yang dimaksud adalah 6,8 persen.

 

Banyaknya karyawan yang terdepak inilah yang membuat jumlah UKM makin menjamur. Meskipun demikian, pengusaha tersebut tak serta-merta menelantarkan mantan karyawannya. Ada hubungan sinergis antara UKM yang didirikan mantan karyawan dengan perusahaannya. Misalnya di industri air mineral. Ada UKM yang melakukan pengemasan, ada yang memproduksi tutup, ada yang membuat botol sesuai dengan pesanan perusahaan itu. Bisa dibilang ada semacam pola outsorcing, sambung Sakri. Sakri menambahkan, pola seperti itu akan menguntungkan UKM karena ada alih pengetahuan dan teknologi dari perusahaan dan industri.

 

Ekonom INDEF Aviliani membenarkan hal itu. Dari total 95 juta angkatan kerja, hanya 30 juta yang mampu dijamin oleh perusahaan sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Artinya, sebagian besar terserap di sektor informal, ujarnya. Aviliani menjelaskan, saat ini jumlah pelaku sektor formal justru makin menurun dan sebaliknya, pelaku UKM makin meningkat.

Halaman Selanjutnya:
Tags: