Dana Perumahan Prajurit TNI AD Raib, Kesalahan Siapa?
Berita

Dana Perumahan Prajurit TNI AD Raib, Kesalahan Siapa?

Maksud hati mencari bantuan dana untuk pembangunan perumahan prajurit TNI AD, dana yang sudah disimpan dan dikelola oleh BPTWP malah lenyap. Kesalahan ditimpakan kepada Kepala BPTWP dan rekannya.

CRI
Bacaan 2 Menit
Dana Perumahan Prajurit TNI AD Raib, Kesalahan Siapa?
Hukumonline

 

Salim Mengga, Samuel dan Dedy pun bertemu lagi di kafe di bilangan Jakarta Selatan sebanyak 3 kali. Salim Mengga hanya absen pada pertemuan terakhir. Samuel kemudian memaparkan hasilnya kepada Wakasad (saat itu dipegang Letjen TNI Djoko Santoso) dengan dihadiri oleh Ngadimin, Dedy, Asisten Personil (Aspers) serta Inspektur Jenderal Angkatan Darat (Irjenad).

 

Terhadap hasil paparan tersebut, Kasad (saat itu dijabat Ryamizard Ryacudu) mengeluarkan surat bernomor B/1635/X/2004 perihal kerja sama dengan Yayasan Manahaim. Surat ini kemudian dikuatkan oleh perjanjian kerja sama  bernomor 03/TWP-SK/PK/X/2004 yang didalamnya disepakati bahwa BPTWP diwajibkan untuk menyediakan dana pendamping sebesar Rp100 Milyar, sementara Samuel diwajibkan untuk mencari penyandang dana proyek pembangunan perumahan perwira TNI AD. Selain itu disepakati pembagian dana bantuan yang terkumpul antara pihak TNI dengan yayasan, masing-masing sebesar 80 persen dan 20 persen.

 

Setelah perjanjian, dana TWP AD di BRI ditransfer sebesar Rp100 Milyar ke rekening Bank Mandiri cabang Panglima Polim Jakarta  Selatan atas nama Ngadimin dan Samuel. Namun kemudian pada bulan November 2004, tanpa sepengatahuan Kasad maupun Aspers Kasad, Ngadimin dan Samuel mengajukan permohonan kredit sebesar Rp92,5 milyar di Bank Mandiri dengan dana pendamping sebagai  jaminannya.

 

Singkat cerita, bantuan dana yang dijanjikan Samuel tak kunjung didapatkan, dana pendamping yang berada di Bank Mandiri malah raib. Dari jumlah dana pendamping sebesar Rp100 milyar, Rp42,8 milyar ditransfer kepada Dedy untuk pembelian surat berharga Oil Production Bond milik Dedy, AS$3 juta ditransfer ke Rafael Harry Wong, rekan Samuel yang juga menjanjikan dapat mencarikan bantuan dana asing, yang hingga kini tak diketahui keberadaannya. Selebihnya digunakan untuk keperluan diri Samuel dan Ngadimin. Sehingga atas perbuatan terdakwa, dalam hal ini mengakibatkan kerugian negara sebesar seratus milyar ucap Muhammad Hudi.

 

Banyak kejanggalan

Ditemui selepas persidangan, Firman Wijaya, penasehat hukum Dedy Budiman Garna mempertanyakan kinerja JPU yang menyatakan penyidikan telah lengkap. Padahal, menurut Firman seharusnya penyidikan belum berhenti disitu.

 

Masih menurut Firman, proses pencairan dana TWP di rekening BRI tidak semata-mata merupakan kesalahan para terdakwa. Selain itu, Firman juga menyayangkan penyidikan yang hanya berhenti sampai kepada terdakwa Ngadimin. Aneh. Kenapa berhenti hanya sampai kepada Kepala BPTWP? Karena saya yakin, Kepala BPTWP tidak mempunyai kewenangan mencairkan dana untuk kemudian didepositokan di Bank Mandiri Panglima Polim. Karena fungsi kepala BPTWP hanya pada level manajerial saja, bukan decision maker untuk penggunaannya tegas Firman.

 

Secara institusional, Firman melihat bahwa semua fungsi bekerja dalam perkara ini. Termasuk Inspektur Jenderal Angkatan Darat (Irjenad) dan Wakasad. Firman juga menyoroti klausul perjanjian antara TNI dengan Yayasan mengenai pembagian dana bantuan. Atas pembagian ini saya yakin bahwa Ngadimin tidak memiliki kapasitas untuk mengatur pembagian itu. Pasti kewenangan itu ada di tangan yang lebih tinggi dari sekedar Kepala BPTWP. Karenanya, Firman berencana memohon kepada majelis hakim untuk menghadirkan para petinggi TNI AD tersebut sebagai saksi.

 

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggelar sidang koneksitas dalam perkara Korupsi Tabungan Wajib Perumahan TNI Angkatan Daerah (TWP- TNI AD) pada Senin (15/01) dengan agenda pembacaan dakwaan. Sidang dipimpin oleh Soedarmadji dengan didampingi Wahjono dan Budi Purnomo. Soedarmadji dan Wahjono adalah hakim di PN Jaksel, sementara Budi Purnomo adalah hakim dari peradilan militer berpangkat Mayor.

 

Muhammad Hudi, koordinator Jaksa Penuntut Umum mendakwa Kolonel Ngadimin (selaku Kepala BPTWP), Samuel Kristianto dan Dedy Budiman Garna (keduanya berasal kalangan sipil) dengan dakwaan berlapis. Dalam dakwaan primer, ketiganya dituduh melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18 jo. Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 (UU Korupsi).

 

Sedangkan dalam dakwaan subsidair, Ngadimin CS dituduh menyalahgunakan wewenang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau  orang lain seperti diatur dalam pasal 3 jo. Pasal 18 jo. Pasal 39 UU No 31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 (UU Korupsi) jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Tidak tanggung-tanggung, jika dakwaan JPU terbukti keduanya dapat dijatuhi hukuman selama 20 tahun atau bahkan seumur hidup.

 

Sesuai dengan uraian dakwaan jaksa penuntut umum, kasus ini bermula dari pertemuan pada Juni 2004 antara Samuel Kristanto sebagai Ketua Yayasan Manahaim dengan Mayjen Salim Mengga selaku Wakil Komandan Kodiklat TNI saat itu. Pertemuan itu membicarakan proyek pembangunan perumahan untuk prajurit dan PNS TNI AD yang belum mencukupi dananya. Saat itu dana Badan Pengelola TWP (BPTWP) baru mencapai Rp157 Milyar. Samuel kemudian menyarankan agar menemui Dedy Budiman yang dianggap berpengalaman dalam fund raising, terutama untuk kemanusiaan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: