Tak Mencantumkan UU Rujukan, Dakwaan Jaksa Dinilai Lemah
Kasus Naskah 'Mahkamah':

Tak Mencantumkan UU Rujukan, Dakwaan Jaksa Dinilai Lemah

Kualitas terdakwa dan kualifikasi tindak pidana yang didakwakan JPU di dalam surat dakwaannya dianggap membingungkan.

IHW
Bacaan 2 Menit
Tak Mencantumkan UU Rujukan, Dakwaan Jaksa Dinilai Lemah
Hukumonline

 

Pasal 72 Ayat (1) UU Hak Cipta

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)

 

Tidak berhenti di situ, Indra masih memuntahkan amunisi untuk menyerang balik dakwaan JPU. Ia berpendapat bahwa JPU 'keblinger' memposisikan diri terdakwa. Di satu sisi seolah-olah terdakwa diposisikan selaku pribadi, tetapi di sisi lain seolah-olah bertindak sebagai Direktur Eksekutif. Tidak jelas terdakwa didakwa selaku pribadi atau sebagai Direktur Eksekutif Yayasan Lontar. Padahal kita ketahui bahwa ada pembedaan antara pelaku tindak pidana yang pribadi dengan korporasi. Lagi-lagi JPU tidak jelas menentukan kualitas terdakwa, urainya.

 

Kembali ke masalah niat baik seperti yang disebutkan di awal, Indra sedikit mengungkapkan latar belakang hingga terjadinya perkara ini. Yayasan Lontar hanya beritikad baik untuk mengumpulkan naskah drama sejak tahun 1800-an hingga terkini. Itu dilakukan supaya karya-karya terbaik anak bangsa tidak tercecer lantas menghilang tak jelas kemana. Kalau sudah 'dikodifikasikan', itu akan lebih berguna bagi khasanah ilmu pengetahuan. Tidak ada niat mencari keuntungan, ungkapnya.

 

Dihubungi terpisah, JPU Sukamto enggan berpendapat atas eksepsi penasehat hukum. Nanti saja mas. Akan kita sampaikan di tanggapan atas eksepsi nanti. Sekarang masih rahasia, jawabnya singkat. Untuk keperluan tanggapan atas eksepsi penasehat hukum, majelis hakim yang dipimpin Heru Pramono menunda persidangan hingga dua pekan mendatang, Rabu (30/4).

 

Niat baik ternyata tidak selamanya direspon dengan baik pula. Kira-kira demikian pesan yang ingin disampaikan Indra Nathan Kusnadi, advokat dari kantor hukum Adnan Buyung Nasution& Partners kepada hukumonline terkait dengan perkara kliennya yang sedang disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

 

Pada berita terdahulu disebutkan, Adila Suwarmo Soepeno yang dalam dakwaan disebut berprofesi sebagai Direktur Eksekutif Yayasan Lontar dituduh telah melanggar hak cipta karena memasukkan naskah drama 'Mahkamah' ke dalam buku Antologi Drama Indonesia. Bahkan, jaksa penuntut umum (JPU) juga menuduh terdakwa dengan tanpa hak telah mengkomersilkan buku itu. Nah, Adila Suwarmo Soepeno inilah klien yang sedang ditangani Indra Nathan Kusnadi.

 

Di persidangan yang digelar pada Rabu (16/4) giliran penasehat hukum Adila yang mempreteli formalitas surat dakwaan JPU melalui eksepsi sebagaimana diatur dalam pasal 156 ayat (1) KUHAP. Pada intinya, tim penasehat hukum terdakwa berkeinginan agar dakwaan JPU dinyatakan batal demi hukum atau setidaknya tidak dapat diterima.

 

Untuk menyatakan dakwaan JPU batal demi hukum, tim penasehat hukum terdakwa melontarkan sejumlah peluru argumentasinya. Dari segi formal misalnya, dakwaan JPU dinilai telah disusun secara tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap, sebagaimana dipersyaratkan KUHAP. Ketidakcermatan JPU dalam menyusun dakwaan terlihat dari tidak dicantumkannya undang-undang atau peraturan apa yang dilanggar terdakwa pada bagian uraian tindak pidana. Dakwaan JPU hanya menyebut 'melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan (2)'. Tapi tidak disebut dari undang-undang apa? cetus Indra ketika ditemui pada Rabu (16/4).

 

Selain itu, Indra juga menilai surat dakwaan JPU obscuur alias kabur atau tidak jelas. Menurut Indra, pada dakwaan kesatu, JPU tidak jelas mengkualifisir tindak pidana apa yang telah dilanggar terdakwa. Jika yang dimaksud JPU adalah UU Hak Cipta, maka ada hal mendasar yang diabaikan JPU. Melanggar Pasal 2 Ayat (1) UU Hak cipta berarti melanggar hak cipta. Sedangkan melanggar Pasal 49 Ayat (1) dan (2) berarti melanggar hak terkait. Jadi mana yang mau didakwakan di dalam dakwaan kesatu? Melanggar hak cipta atau melanggar hak terkait? ujar Indra kesal. Menurutnya, frase 'atau' di dalam Pasal 72 Ayat (1) UU Hak Cipta sudah tegas meminta kepada JPU untuk memilih.

Halaman Selanjutnya:
Tags: