Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Dapatkah Hakim Meminta “Biaya” Dalam Proses Perceraian?

Share
copy-paste Share Icon
Profesi Hukum

Dapatkah Hakim Meminta “Biaya” Dalam Proses Perceraian?

Dapatkah Hakim Meminta “Biaya” Dalam Proses Perceraian?
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Dapatkah Hakim Meminta “Biaya” Dalam Proses Perceraian?

PERTANYAAN

Saya sedang proses perceraian sebagai penggugat. Dan sekarang baru sampai pada sidang kedua tanpa dihadiri pihak tergugat. Saya mengurus sendiri tanpa dibantu pengacara. Sampai sidang kedua saya tidak ada masuk ke ruang sidang tetapi sudah dianggap sidang. Pada panggilan kedua ini, panitera meminta uang 10 juta dengan alasan untuk hakim. Apa benar proses cerai harus memberikan uang kepada hakim?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     
    Intisari:
     
     

    Para pihak memang wajib membayar sejumlah biaya perkara, namun tidak dibenarkan untuk memberikan uang kepada hakim. Hal ini karena kesejahteraan hakim telah dijamin oleh negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kesejahteraan ini antara lain meliputi gaji pokok dan sejumlah hak lainnya.

     

    Lebih dari pada itu, hakim sebagai salah satu aparat penegak hukum tidak diperkenankan untuk menerima segala jenis suap yang akan mempengaruhi kedudukannya dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang dihadapkan kepadanya.

     

    Hakim juga dilarang mengizinkan pegawai pengadilan yang di bawah pengaruh, petunjuk atau kewenangan hakim yang bersangkutan untuk menerima pemberian dari orang yang sedang diadilinya.

     

    Penjelasan selengkapnya dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

     
     
     
    Ulasan:
     

    Pada dasarnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) yang merupakan landasan hukum sistem peradilan negara, pengadilan berfungsi mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang, membantu pencari keadilan, dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Demikian antara lain yang disebut dalam Pasal 4 UU Kekuasaan Kehakiman.

     

    Di samping itu, biaya untuk memproses suatu perkara di pengadilan, termasuk perkara perceraian yang Anda tanyakan, diatur kembali secara khusus dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2012 tentang Biaya Proses Penyelesaian Perkara dan Pengelolaannya Pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya (“Perma 3/2012”).

    KLINIK TERKAIT

    Apakah Hakim Boleh Mengadili Kasus Keluarganya?

    Apakah Hakim Boleh Mengadili Kasus Keluarganya?
     

    Adapun yang dimaksud dengan Biaya Proses Penyelesaian Perkara (biaya proses) menurut Pasal 1 angka 1 Perma 3/2012 adalah biaya yang dipergunakan untuk proses penyelesaian perkara perdata, perkara tata usaha negara dan hak uji materil pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya yang dibebankan kepada pihak atau para pihak yang berperkara.

     

    Kami berkesimpulan bahwa proses cerai yang sedang Anda jalani masih berada pada pengadilan tingkat pertama yang mana besaran panjar biaya proses pada Pengadilan Tingkat Pertama diatur dan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (lihat Pasal 2 ayat (3) Perma 3/2012).

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
     

    Mengacu pada hal-hal di atas, ini artinya, pada dasarnya pencari keadilan, termasuk para pihak yang berada dalam proses perceraian di pengadilan memang wajib membayar biaya proses perkara, namun dengan biaya yang ringan. Selain itu, tidak ada kewajiban bagi para pihak yang berperkara untuk memberikan sejumlah uang lagi untuk hakim yang memeriksa dan mengadili perkara yang ditanganinya.

     

    Hal ini karena pada aturannya, hakim sebagai pegawai negara telah digaji oleh negara berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2000 tentang Peraturan Gaji Hakim Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama (“PP 8/2000”) sebagaimana telah lima kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2008 (“PP 11/2008”). Dalam lampiran PP 11/2008 telah diatur tentang gaji pokok hakim berdasarkan golongannya.

     

    Gaji pokok hakim ini merupakan salah satu komponen kesejahteraan hakim yang telah dijamin oleh negara sebagaimana disebut dalam Pasal 48 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman:

     

    “Negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.”

     

    Jaminan kesejahteraan hakim ini meliputi gaji pokok, tunjangan, biaya dinas, dan pensiun serta hak lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan (penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman).

     

    Masih berhubungan dengan jabatan hakim, sebagai salah satu aparat penegak hukum, hakim tidak dibolehkan menerima segala pemberian yang akan mempengaruhi independensinya sebagai hakim. Hal ini telah disebut dalam Butir 2.2 angka 1 Keputusan Bersama antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (“Kode Etik dan PPH”) yang berbunyi:

     

    Hakim tidak boleh meminta/menerima dan harus mencegah suami atau istri Hakim, orang tua, anak, atau anggota keluarga Hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari:

    a.    Advokat;
    b.    Penuntut;
    c.    Orang yang sedang diadili;

    d.    Pihak lain yang kemungkinkan kuat akan diadili;

    e.    Pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh Hakim yang bersangkutan yang secara wajar (reasonable) patut dianggap bertujuan atau mengandung maksud untuk mempengaruhi Hakim dalam menjalankan tugas peradilannya.

     

    Tidak hanya itu, sesuai dengan Butir 2.2 angka 2 Kode Etik dan PPH, hakim dilarang menyuruh/mengizinkan pegawai pengadilan atau pihak lain yang dibawah pengaruh, petunjuk atau kewenangan hakim yang bersangkutan untuk meminta atau menerima hadiah, hibah, warisan, pemberian, pinjaman atau bantuan apapun sehubungan dengan segala hal yang dilakukan atau akan dilakukan atau tidak dilakukan oleh hakim yang bersangkutan berkaitan dengan tugas atau fungsinya, salah satunya adalah dari orang yang sedang diadili oleh hakim tersebut.

     

    Menjawab pertanyaan Anda, hakim yang mengadili perkara perceraian Anda dilarang mengizinkan panitera untuk meminta uang kepada Anda sebesar 10 juta tersebut. Pemberian ini jika dimaknai secara luas dapat disebut sebagai gratifikasi, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Penjelasan selengkapnya mengenai pemberian ini dapat Anda simak dalam artikel Bolehkah Memberi Hadiah kepada Hakim?

     

    Sebagai contoh kasus adalah hakim Pengadilan Negeri Sleman (PN Sleman) yang terbukti mencoba menerima suap dari pihak yang berperkara dengan meminta sejumlah uang. Dalam artikel Mencoba Terima Suap, Hakim PN Sleman Dinonpalukan diberitakan antara lain bahwa Majelis Kehormatan Hakim (MKH) menjatuhkan sanksi berat terhadap hakim PN Sleman, Anton Budi Santoso yang terbukti mencoba menerima suap dari pihak yang berperkara dengan meminta uang sebesar Rp50 juta saat menangani perkara perdata No. 113/Pdt.G/2010/PN Sleman. Ia dijatuhi sanksi nonpalu selama 2 tahun dan tunjangan remenunerasinya dicabut.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    1.    Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman;

    2.    Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2000 tentang Peraturan Gaji Hakim Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama sebagaimana telah lima kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2008;

    3.    Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2012 tentang Biaya Proses Penyelesaian Perkara dan Pengelolaannya Pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya; 

    4.    Keputusan Bersama antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

     

    Tags

    biaya

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Balik Nama Sertifikat Tanah karena Jual Beli

    24 Jun 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!