Bagaimana bunyi dasar hukum dan ketentuan dalam kode etik hakim selengkapnya?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul samayang dibuat oleh Lezetia Tobing, S.H., M.Kn.dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 2 Oktober 2012.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Larangan Mengadili Kasus Keluarga bagi Hakim Mahkamah Agung
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu diketahui bahwa bagi hakim Mahkamah Agung (“MA”) serta peradilan di bawahnya, berlaku Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Pengertian kode etik hakim diatur dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Bersama MA dan KY sebagai berikut:
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim adalah Panduan keutamaan moral bagi setiap hakim, baik di dalam maupun di luar kedinasan sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 - 02/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Adapun hakim yang dimaksud dalam kode etik tersebut adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, termasuk hakim ad hoc dan hakim pengadilan pajak.[1]
Selanjutnya, berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, keluarga hakim adalah keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai (hal. 6). Lalu, pada dasarnya seorang hakim dalam menangani suatu perkara harus menghindari adanya konflik kepentingan, yang salah satunya adalah konflik kepentingan yang berhubungan dengan pribadi dan kekeluargaan. Hal tersebut kemudian dipertegas dalam beberapa pasal dalam Peraturan Bersama MA dan KY sebagai berikut:
Pasal 7 ayat (3) huruf a
Hakim dilarang mengadili perkara di mana anggota keluarga hakim yang bersangkutan bertindak mewakili suaatu pihak yang berperkara atau sebagai pihak yang memiliki kepentingan dengan perkara tersebut.
Pasal 7 ayat (3) huruf c
Hakim dilarang menggunakan wibawa pengadilan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak ketiga lainnya.
Pasal 9 ayat (5) huruf a
Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan, baik karena hubungan pribadi dan kekeluargaan, atau hubungan-hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan.
Pasal 9 ayat (5) huruf c
Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila memiliki hubungan keluarga, Ketua Majelis, hakim anggota lainnya, penuntut, advokat, dan panitera yang menangani perkara tersebut.
Pasal 10 ayat (2) huruf a
Hakim dilarang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau pihak lain.
Sebagai informasi, pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (3) huruf a, Pasal 9 ayat (5) huruf c, dan Pasal 10 ayat (2) huruf a Peraturan Bersama MA dan KY merupakan pelanggaran berat.[2] Sedangkan pelanggaran terhadap Pasal 9 ayat (5) huruf a adalah pelanggaran sedang.[3] Kemudian pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (3) huruf c adalah pelanggaran ringan.[4]
Lebih lanjut, apabila dalam menangani suatu perkara, hakim memiliki konflik kepentingan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (5) huruf c Peraturan Bersama MA dan KY, maka hakim wajib mengundurkan diri dari memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan. Keputusan untuk mengundurkan diri tersebut harus dibuat seawal mungkin untuk mengurangi dampak negatif yang mungkin timbul terhadap lembaga peradilan atau persangkaan bahwa peradilan tidak dijalankan secara jujur dan tidak berpihak.[5]
Ketentuan mengenai sanksi terhadap hakim yang melakukan pelanggaran dapat Anda lihat pada Pasal 19 sampai dengan Pasal 22 Peraturan Bersama MA dan KY.
Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi adalah panduan moral dan etik bagi setiap Hakim Konstitusi, baik dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya maupun dalam pergaulan di masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
Serupa dengan hakim MA, pada dasarnya hakim MK dalam menangani suatu perkara juga harus menghindari adanya konflik kepentingan keluarga. Hal ini terdapat di beberapa prinsip yang diatur dalam Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagai berikut:
Prinsip Ketakberpihakan
Ketakberpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim konstitusi sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan ke Mahkamah. Ketakberpihakan mencakup sikap netral, disertai penghayatan yang mendalam akan pentingnya keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara (hal. 7).
Salah satu penerapan prinsip ketakberpihakan adalah hakim konstitusi (kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya kuorum untuk melakukan persidangan) harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan-alasan di bawah ini (hal. 8):
Hakim konstitusi tersebut nyata-nyata mempunyai prasangka terhadap salah satu pihak; dan/atau
Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan.
Prinsip Kepantasan dan Kesopanan
Kepantasan dan kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan kesusilaan antar pribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim konstitusi, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan (hal. 10).
Penerapan prinsip ini salah satunya, hakim konstitusi dilarang mengizinkan anggota keluarganya dan/atau relasi sosial lainnya untuk memengaruhi hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus perkara (hal. 11).
Selain itu, hakim konstitusi dilarang memanfaatkan atau memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memanfaatkan wibawa Mahkamah bagi kepentingan pribadi hakim konstitusi atau anggota keluarganya, atau siapapun juga. Demikian pula hakim konstitusi dilarang memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menimbulkan kesan seolah-olah mempunyai kedudukan khusus yang dapat memengaruhi hakim konstitusi dalam pelaksanaan tugasnya (hal 11-12).
Sepanjang penelusuran kami, tidak terdapat definisi siapa saja yang dimaksud dengan keluarga hakim dalam Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi maupun Peraturan MK 1/2023. Namun, intinya jika hakim konstitusi mengizinkan anggota keluarganya untuk memengaruhi hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus perkara, maka hakim konstitusi melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.[6] Sanksi pelanggaran dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis, atau pemberhentian tidak dengan hormat.[7]
Pemberian sanksi bagi hakim konstitusi yang melakukan pelanggaran dapat Anda baca selengkapnya pada Pasal 40 sampai dengan Pasal 48 Peraturan MK 1/2023.
Kesimpulannya, baik bagi hakim MK, hakim MA, serta hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya, dalam menangani suatu perkara harus menghindari adanya konflik kepentingan keluarga. Bagi hakim MA dan hakim pada badan peradilan dibawahnya, ketentuan tersebut diatur dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dan Peraturan Bersama MA dan KY. Sedangkan bagi hakim MK, berlaku Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi dan Peraturan MK 1/2023. Namun perlu diketahui bahwa apabila hakim konstitusi tidak dapat bersikap tak berpihak karena anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan, maka hakim harus mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara, kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya kuorum untuk melakukan persidangan.