Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Pengujian Formal Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Dalam pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar, pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
[1]perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara.
Menurut Bachtiar dalam bukunya Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi pada Pengujian UU Terhadap UUD (hal. 133), pengujian konstitusionalitas undang-undang dapat dilakukan secara materiel (materiele toetsing) atau secara formal (formele toetsing). Pengujian secara materiel adalah pengujian yang berkaitan dengan isi atau substansi dari suatu undang-undang. Sementara pengujian secara formal adalah pengujian yang berkaitan dengan apakah proses pembuatan undang-undang telah sesuai atau tidak dengan prosedur yang ditetapkan.
Pembagian antara pengujian materiel dan pengujian formal tercermin dalam Pasal 51 ayat (3) UU MK yang berbunyi:
Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau
materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian formal, pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh MK didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan dengan “peraturan perundang-undangan”, antara lain Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait, seperti Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat tentang Tata Tertib.
[2]
Hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan meliputi:
[3]mengabulkan permohonan pemohon;
menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
menyatakan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Potensi Pelanggaran Formal dalam Revisi UU KPK
Berdasarkan penelusuran kami, sebagian besar kritik terhadap revisi UU KPK dan perubahannya tertuju pada proses pembahasan hingga pengesahannya yang terkesan tergesa-gesa. Peneliti Setara Istitute, Iksan Yosarie dalam artikel
Ada yang Tak Lazim dalam Percepatan Pembahasan Sejumlah RUU menilai bahwa proses pembahasan UU KPK sama sekali tidak melibatkan KPK yang justru akan menjalankan UU KPK. Sementara KPK sendiri adalah institusi yang paling terkena dampak dari keberlakuan undang-undang hasil revisi ini.
Iksan juga menyebutkan kecepatan respons Presiden Jokowi dengan mengutus perwakilan pemerintah membahas revisi UU KPK serta cepatnya proses pembahasan rancangan undang-undang menggambarkan bahwa niat pelemahan KPK memang sudah dirancang sejak awal dan hanya menunggu momentum yang tepat, di mana setelah iktikad dugaan pelemahan KPK itu dijalankan. Momentum itu ada pada kemenangan Jokowi dalam Pemilu 2019 dan di penghujung akhir masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) 2014-2019.
Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Agil Oktaryal dalam artikel yang sama juga menyatakan bahwa ada proses yang dipaksakan dari drama pengesahan UU KPK. Hal ini bisa dilihat dari ketiadaan revisi UU KPK dalam program legislasi nasional proritas tahunan 2019. DPR dinilai memaksakan pembahasan UU KPK dengan dalil dapat dimasukkan ke dalam daftar kumulatif terbuka.
Dalam hal ini, terdapat beberapa kemungkinan pelanggaran yang terjadi di dalam proses pembahasan revisi UU KPK dan perubahannya. Sebagai contoh, UU 12/2011 mengamanatkan adanya partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Masukan secara lisan dan/atau tertulis tersebut dapat dilakukan melalui:
[4]rapat dengar pendapat umum;
kunjungan kerja;
sosialisasi; dan/atau
seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
Masyarakat yang dapat memberikan masukan adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi rancangan peraturan perundang-undangan. Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis, setiap rancangan peraturan perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
[5]
Selain itu, Pasal 43 ayat (3) UU 12/2011 mengatur bahwa rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau Dewan Perwakilan Daerah harus disertai naskah akademik. Naskah akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu rancangan undang-undang, rancangan peraturan daerah provinsi, atau rancangan peraturan daerah kabupaten/kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
[6]
Akhirnya, apabila pelanggaran-pelanggaran formal tersebut terbukti, putusan MK yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan suatu undang-undang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
[7]
Contoh Kasus
Dalam putusan tersebut, para pemohon menggugat sejumlah hal terkait formalitas pembentukan UU 3/2009, seperti tidak memenuhi syarat kuorum, pengambilan keputusan Ketua DPR yang tidak memenuhi syarat, dan pelanggaran atas prinsip keterbukaan (hal. 14-23). Namun demikian, majelis hakim berpendapat bahwa meskipun terdapat cacat prosedural dalam pembentukan UU 3/2009, secara materiel undang-undang tersebut tidak menimbulkan persoalan hukum. Apabila UU 3/2009 yang cacat prosedural tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka akan mengakibatkan keadaan yang tidak lebih baik karena (hal. 93):
dalam UU 3/2009 justru terdapat substansi pengaturan yang isinya lebih baik dari Undang-Undang yang diubah;
sudah diterapkan dan menimbulkan akibat hukum dalam sistem kelembagaan yang diatur dalam UU 3/2009 dan yang berkaitan dengan berbagai Undang-Undang.
Dalam putusannya, MK kemudian menyatakan adanya cacat prosedural dalam pembentukan UU 3/2009. Namun demi asas kemanfaatan hukum, undang-undang tersebut tetap berlaku (hal. 94).
Putusan ini, menurut hemat kami, menunjukkan bahwa gugatan formal atas suatu undang-undang perlu dikuatkan dengan argumentasi yang kuat atas mudarat dari materi muatan suatu undang-undang, yang dalam hal ini adalah revisi UU KPK dan perubahannya.
Dasar Hukum:
Putusan:
Referensi:
Bachtiar. Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi pada Pengujian UU Terhadap UUD. Jakarta: Raih Asa Sukses, 2015.
[1] Pasal 51 ayat (1) UU MK
[2] Pasal 51A ayat (3) UU 8/2011 dan penjelasannya
[3] Pasal 51A ayat (4) UU 8/2011
[4] Pasal 96 ayat (1) dan (2) UU 12/2011
[5] Pasal 96 ayat (3) dan (4) UU 12/2011
[6] Pasal 1 angka 11 UU 12/2011
[7] Pasal 57 ayat (2) UU 8/2011